Friday, May 23, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 2)

Kampungku sejuk sekali pagi ini, bekas dihajar hawa dingin semalaman. Gadis-gadis muda nan cantik jelita beriringan menuju kampus. Membelah jalan-jalan kampung yang meriah karena dijejali pedagang sayur yang ramah melayani pembeli, keceriaan loper koran dan ibu-ibu yang menghantarkan buah hatinya ke Taman Kanak-kanak. Dan di cermin, aku terlihat lebih ganteng dari biasanya. Segalanya terlihat indah pagi ini, sampai aku keluar kontrakan dan melihat matahari. Pijaran bola matahari menghilangkan semangatku karena mengingatkanku pada sesuatu: lampu!

Sudah tiga hari sejak pemilik rumah kontrakanku memintaku membeli lampu untuk dipasang di depan rumah. Pak Samsul nama orang itu, dan ia mengontrakkan rumahnya agar anaknya dapat terus bersekolah, sementara ia tinggal di rumahnya yang satu lagi, tidak jauh dari rumah kontrakanku.

Aku tak segera membeli lampu. Toh, tetangga kiri kananku tidak ada yang memasang lampu sama sekali. Mungkin karena sekarang adalah akhir bulan, dimana masyarakat kampung sedang giat-giatnya menjalankan sebuah program yang belakangan menjadi poluler: mengencangkan ikat pinggang! Jika Anda adalah Ketua RT dan ingin jabatan Anda bertahan lama, janganlah membuat program yang aneh-aneh di akhir bulan! Tapi toh siapa yang ingin berlama-lama menjadi Ketua RT?

Tiga hari ini aku seperti kaum urban yang harus berangkat pagi-pagi dan baru pulang ketika orang-orang tertidur lelap karena rumahnya di luar kota sangat jauh dari tempatnya bekerja di pusat kota. Padahal kampusku berjarak hanya 500 meter dari kontrakanku, berjalan kaki pun hanya memerlukan waktu 15 menit saja! Semua ini bukan supaya terlihat keren dan berkesan serius berjuang meraih pendidikan, melainkan demi menghindar dari pak Samsul, karena bujuk rayunya pasti akan meluluhkan hatiku untuk menghabiskan sisa uang di dompetku guna membeli sebuah lampu. Ah, membayangkannya saja aku ngeri...

Tuhan memang mengabulkan doaku, aku tidak pernah bertemu sama sekali dengan pak Samsul. Namun dasar nasib: tak ada rotan, akar pun jadi.

”Mas Sahid kok nggak pernah kelihatan?” suara itu tiba-tiba mengagetkanku. Aduh, suara ini... Sepertinya aku akrab sekali dengan suara ini. Dan benar saja, ketika aku menoleh ke sumber suara itu, ada bu Samsul! Matanya bulat tanda senang bukan main, seperti burung hantu menemukan mangsanya. Pandangannya seolah berkata, ”Aha, mau lari kemana Kau anak muda?!”

”Ah... I.. Iya ya Bu, kok nggak pernah kelihatan ya?” jawabku ngawur. ”Saya terburu-buru Bu, ada kuliah pagi. Mari Bu,” sambungku cepat karena ingin segera kabur.

”Oh iya, jangan lupa beli lampu, ntar keburu ditegur pak RT lho...,” mimik muka bu Samsul serius. Kali ini mangsanya tak berkutik.

”He... Iya Bu. Kalau begitu, saya berangkat dulu ya Bu,” senyumku kecut. Tak perlu aku bercermin, aku tahu pasti senyumku kecut!

”Hati-hati di jalan ya Mas Sahid,” ujar istri pemilik kontrakanku dengan senyuman penuh kemenangan.

”Ah, Ibu tidak perlu mengkhawatirkan perjalananku. Jika aku jadi membeli lampu, maka yang perlu dikhawatirkan adalah isi dompetku, juga perutku!” Yang benar saja, tidak berani aku bicara terus terang seperti itu. Konsekuensinya akan sangat mengerikan: jika tidak diusir secara terang-terangan hari ini juga, bisa-bisa sewa rumah kontrakanku bakal dinaikkan dua kali lipat tahun depan!

No comments: