Wednesday, April 16, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 1)

Hari beranjak gelap. Matahari sudah minggat sejak pukul setengah enam tadi. Mungkin merajuk karena banyak manusia, terutama gadis-gadis muda yang takut sinar matahari, mengeluh gerah dan kepanasan saat mereka beraktivitas, padahal matahari sudah capek-capek menyinari bumi seharian tadi. ”Bah! Masih untung aku mau lewat di atasmu, sehingga kamu bisa melihat dan beraktivitas dengan baik. Coba kalau aku tidak ada, jangankan mengoleskan pemutih di atas kulitmu, mengetahui warna kulitmu pun kau tak akan bisa!” begitu barangkali yang akan dikatakannya jika Matahari diberi kesempatan berbicara.

Aku tak peduli dengan apa yang dipikirkan gadis-gadis muda itu. Aku juga tak mau ambil pusing dengan celaan matahari. Pikiranku sibuk dengan lampu depan motorku yang mati sejak beberapa hari yang lalu. Menyusuri jalan-jalan kampung di malam hari tanpa lampu adalah perkara yang menyusahkan buatku. Bukan karena resiko menabrak orang atau takut dimarahi penduduk kampung, namun aku jadi tidak bisa melihat dengan jelas wajah gadis-gadis muda itu. Biasanya dengan cuci mata, pikiranku tak lagi buntu.

Walaupun aku cukup terganggu dengan matinya lampu motorku, aku tak segera membeli lampu baru. Dengan lampu motor yang mati, aku jadi punya alasan untuk nebeng atau diantar jemput teman-teman jika ada kegiatan bersama di malam hari. Melanggar peraturan lalu-lintas adalah pantangan buatku. Teman-temanku sampai bosan mendengar ocehanku: ”Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh seberapa banyak warga negaranya yang patuh terhadap hukum”. Maka mereka terpaksa menjadi tukang ojek kalau ingin mengajakku pergi di malam hari. Jika Anda ingin ada terobosan dalam hal penghematan anggaran BBM, ikutilah saran konyol saya: buanglah lampu depan motor Anda!

Perkara membeli lampu baru sebenarnya tidak jauh-jauh dari masalah duit. Bulan ini pengeluaranku banyak sekali, sehingga memaksaku menggenjot penjualan jasa penerjemahan. Jasa penerjemahan Sahid & Rekan memang sedang kebanjiran order, sampai-sampai aku perlu turun tangan mengerjakan penerjemahan karena tiga orang staf ternyata tidak sanggup menyelesaikan seluruh permintaan.

Tetap saja, penghasilan dari jasa penerjemahan itu tidak dapat menutupi pengeluaran bulan ini. Aku sempat berpikir untuk meminta kiriman uang dari orang tua, tapi aku segera membuang jauh-jauh pikiran itu. Bukan karena orang tuaku tak sayang padaku sampai-sampai meminta tambahan uang pun tak dikasih. Justru aku khawatir dengan rasa sayang orang tua kepada anak. Demi membahagiakan anaknya, banyak orang tua yang mengabulkan permintaan barang yang aneh-aneh dari anaknya. Jika duit sendiri tak cukup, tenang saja, masih ada uang perusahaan. Aku tak habis pikir dengan gaya hidup sebagian teman-temanku yang suka meminta-minta pada orang tua. Apakah mereka tidak takut jika nantinya orang tua mereka korupsi?

Aku masih sibuk memikirkan lampu motorku ketika aku sampai di depan kontrakanku. Aku begitu sentimen pada lampu, hingga aku sampai pada satu kesimpulan: karena tidak ada anggaran, bulan ini aku tak mau membeli lampu. Bukan hanya lampu motor, aku juga tak mau membeli lampu senter, lampu rumah atau lampu-lampu yang lain. Bahkan, malam ini aku berencana langsung tidur dan tak mau menyentuh saklar-saklar lampu di rumahku. Aku tak mau membeli lampu dan tak mau berurusan dengan lampu!

Ketika aku membuka pintu kontrakanku, tiba-tiba sang empunya rumah datang menghampiriku.

”Mas Sahid, kemarin ada rapat RT. Karena lampu-lampu jalan sudah diputus oleh PLN, maka setiap rumah harus memasang lampu di depan rumah. Mas Sahid jangan lupa besok beli lampu ya!” ujarnya dengan tersenyum manis tanpa perasaan bersalah. Dan kepalaku pun pening.


Bersambung...

Saturday, April 12, 2008

Panderman Hill (Bagian 2): Puncak

Akhirnya tibalah kita di puncak bukit Panderman, berupa tanah lapang yang cukup luas. Tanah lapang itu tidak seluruhnya rata, melainkan berkontur dan terdapat beberapa bagian yang lebih tinggi dan lebih rendah, seperti diatur sedemikian rupa oleh alam sehingga terbentuklah kapling-kapling tempat para pendaki mendirikan tenda. Seperti cluster permukiman mewah yang terdiri atas puluhan kapling tanah siap bangun, yang biasa kita jumpai di kawasan dataran tinggi elit.
Dari puncak, jika melihat ke atas kita akan disuguhi hamparan bintang di angkasa, dan jika melihat ke bawah maka kita akan menjumpai kelap-kelip lampu kota Batu dan sekitarnya. Seolah-olah kita melihat danau yang memantulkan penampakan benda-benda di atas dan seberang danau sana, maka lampu-lampu kota itu adalah pantulan dari cahaya-cahaya bintang di angkasa.

Pendakian Panderman hill hanya memerlukan waktu antara dua hingga lima jam saja, tergantung keahlian, kondisi fisik, serta barang dan siapa yang kita bawa serta. Mengajak pendaki profesional tentu jauh lebih cepat dibanding mengajak perokok berat yang baru pertama kali naik gunung! Bukannya berusaha mencapai puncak, mereka biasanya tergoda untuk bermalam di Watu Gede, tempat pemberhentian sementara berupa tanah lapang yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah batu besar. Namun jika tujuan kita adalah menikmati matahari terbit, kita harus mendaki hingga puncak, karena di Watu Gede kita baru bisa melihat matahari pada pukul 9 pagi! Semua ini gara-gara tebing yang menutupi pandangan kita ke sisi timur. Tentu saja kita tidak bisa memindahkan tebing itu seperti memindahkan telapak tangan dari muka saat melakukan cilukba.

Karena pendakian menuju puncak hanya memakan waktu sebentar, biasanya para pendaki memilih untuk berangkat dari kaki bukit selepas magrib atau isya. Bukannya tanpa alasan. Para pedaki tidak sabar melewatkan malam hari di puncak Panderman. Bukan karena ingin segera melihat matahari terbit, namun karena tidak tahan dengan suhu udara yang dingin! Untuk mengusir dingin, kita harus membuat api unggun. Bermain gitar juga boleh, asalkan ada teman yang cukup hebat bisa mendaki jalan terjal berpasir dengan satu tangan, karena tangan yang satunya untuk membawa gitar. Sedangkan di punggungnya tidak ada lagi tempat yang tersisa karena dibebani tas ransel yang berisi tenda, sleeping bag, beberapa bungkus roti dan mie instan, bahan bakar, serta tidak lupa dua botol air mineral 1500ml.

Jika kita tidak pernah naik gunung sebelumnya, jangan sekali-kali mendaki Panderman hill saat musim ajaran baru. Musim ajaran baru adalah sebutan bagi musim di kota Malang ketika tahun ajaran baru mahasiswa. Pada bulan-bulan tersebut, kota Malang terasa lebih dingin dari biasanya. Sebuah penyambutan, atau lebih tepatnya perpeloncoan, yang diselenggarakan oleh alam bagi mahasiswa baru di kota Malang, terutama bagi mereka yang berasal dari luar kota: air yang dingin memaksa mereka untuk tidak mandi selama beberapa hari, dan jika ingin tidur nyenyak ikuti saran saya: belilah selimut tebal!

Saya pernah mendaki Panderman hill saat musim ajaran baru. Ketika bermalam di puncak, saya tidak bisa tidur sama sekali, meski sudah memaksakan diri setengah mati. Tubuh rasanya kaku tak berdaya dibekap hawa dingin yang menusuk. Untuk berjalan sepuluh meter demi memenuhi panggilan alam saja, saya memerlukan waktu lebih dari dua menit! Dan keesokan paginya saya menemukan roti-roti saya dalam keadaan terbujur kaku kedinginan.

Perjuangan mendaki Panderman hill akan terbayar lunas beberapa saat lagi, saat matahari terbit di ufuk timur. Pertunjukan pun dimulai. Langit yang hitam pekat perlahan diusir oleh pendaran cahaya merah dari timur. Tidak lama kemudian muncul warna jingga dan kuning saat cahaya itu semakin merekah, begitu meriah. Seperti menyaksikan bunga matahari yang berkembang menyambut pagi. Dan ketika kilauan cahaya menyusup di sela-sela pepohonan di perbukitan nun jauh di sana, wajah kita diterpa hangatnya pancaran matahari pagi. Saat itu juga kita akan merasakan kelegaan dan sensasi kebahagiaan yang cukup luar biasa, seperti menemukan bahwa mangkuk terakhir es teler yang kita sembunyikan di dalam lemari – karena harus kita tinggalkan untuk mengikuti shalat tarawih – ternyata masih ada di tempatnya.

Thursday, April 10, 2008

Panderman Hill (Bagian 1): Pendakian

Panderman hill. Bukit dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut ini begitu menyenangkan untuk didaki. Di kaki bukit, kita akan disambut kemeriahan bermacam-macam tumbuhan dari berbagai jenis yang beranak-pinak menyebar menutupi bukit Panderman hingga bukit ini akan berwarna hijau jika dilihat dari kejauhan. Seperti jajan nogosari yang dibalut pelepah daun pisang. Setelah melewati kaki bukit, kita akan menyusuri jalan setapak yang diteduhi pohon dan semak-semak yang rimbun, bagai menyusuri labirin berdinding tanaman perdu tinggi yang berada di taman kerajaan-kerajaan Eropa.

Sebelum mencapai puncak, sesekali kita akan mendaki jalan terjal berpasir. Inilah yang menjadi tantangan pendakian bukit ini. Mendaki jalan terjal berpasir ini harus melewati serangkaian uji coba dan di bawah pengawasan ahli. Atau setidaknya kita harus mempunyai jam terbang tinggi. Jika tidak, kita akan terlihat konyol di mata pendaki lain yang hilir mudik melewati jalur ini, karena mereka akan melihat pemandangan paling memalukan sepanjang hidup: ketika kita mendaki jalan berpasir, kita terpeleset. Kita mencoba lagi dan kita terpeleset lagi. Bukannya mendekati puncak, kita malah semakin turun gara-gara pasir yang licin ini. Kita akan terlihat seperti anak ingusan yang mencoba menaiki telusuran di kolam renang, terpeleset dan akhirnya tercebur ke dalam air.

Jika kita berhasil melewati jalan berpasir itu dengan cepat dan tangkas, kita boleh mengagumi diri sendiri, atau setidaknya berbangga hati, terlebih jika ada gadis pendaki yang melihat kita dengan mata berbinar-binar penuh kekaguman. ”Wah, hebat sekali lelaki itu... Aku jadi ingin mengenalnya lebih dekat,” begitu barangkali yang akan di pikirkan si gadis.