Wednesday, March 04, 2009

afeksi dan kucing ngeong

pagi buta. udara terasa basah sehabis diguyur hujan semalaman. jaket biruku tak sanggup menahan dinginnya udara pagi ini. dan aku, aku berjalan menyusuri gang kecil. lorong gang ini begitu panjang dan sempit. di depanku hanya kosong. dan gelap.

aku berjalan dengan lesu. teringat bahwa beberapa hari ini aku begitu jenuh. lelah dengan semuanya. seperti yang tertulis pada buku Perilaku Konsumen yang kubaca semalam tadi, aku mengalami sebuah afeksi kejenuhan. perasaan tidak menyenangkan yang timbul akibat rutinitas. ah, rutinitas...

di tengah pandanganku yang kosong, aku tersadar bahwa di ujung lorong sana ada seberkas cahaya. ah, bukan, tapi dua titik cahaya. aku terkaget dibatnya. bukan takut seperti melihat hantu. hanya takjub saja. dan sedikit penasaran, cahaya apa itu?

semakin aku melangkah, samar-samar kulihat satu sosok. dua titik cahaya itu begitu bulat, dan terang. lalu di sekeliling dua cahaya itu mulai terlihat semacam wajah. dan tubuh yang mungil. lucu. dan imut sekali. ah, itu kucing...

langkahku semakin dekat. kucing itu terlihat semakin jelas. kucing betina yang mungil, dengan bulu kuning keemasan yang memantulkan cahaya lampu teras sebuah rumah di tengah-tengah gang ini. tatapannya tak pernah lepas dariku, terus memandangku. seolah aku begitu sayang untuk dilewatkan.

tak seperti kucing liar lainnya, ia tak beranjak dari tempatnya ketika aku semakin dekat. ia tak berlari. bahkan bersiaga pun tidak. katika aku tepat di depannya, aku berhenti. dan ia hanya mendongak ke atas, diam menatapku. manis sekali. aih, aku tak tahan untuk mengelus kepalanya.

ia segera bereaksi ketika ujung jariku menyentuh bulu-bulu lembutnya. ia menggeliat, mengelus-eluskan kepalanya pada jari-jariku. sambil mengeong manja.

ah, jika saja aku tak teringat bahwa aku harus segera pergi, aku bisa berlama-lama dengan kucing itu. maka akupun segera beranjak. melangkah pergi. meninggalkan kucing itu sendiri. kucing itu terbengong-bengong, seperti berpikir ia seolah tak percaya bahwa kucing semenarik ia tak mampu meluluhkanku. dan selanjutnya, ia mengikutiku...

aku terus melangkah menyusuri lorong gelap ini, menuju ujung gang sana. dan kucing itu terus saja mengikutiku. terkadang mendahuluiku dan mendongak ke atas untuk melihat wajahku. mau tak mau aku jadi berpikir, apa yang sedang dipikirkan kucing ini? sesekali ia mengeong, seperti ingin mengatakan sesuatu.

akhirnya aku sampai di ujung gang ini. di sebuah jalan raya yang lebar namun lengang. dan kucing itu masih mengikutiku. masih memandangku. dan ketika aku memandangnya, ia hanya mengeong, "ngeong..."

kucing yang manis. tapi aku tak punya banyak waktu untuknya. aku pun melangkah pergi. semakin jauh. semakin jauh. dan di kejauhan kulihat ia sesekali. ia masih menatapku, sambil mengeong manja, "ngeong..."