Tuesday, October 28, 2008

Rintik Hujan Sore Itu

Aku sedang duduk menunggu fotokopi ketika gadis itu datang kemari. Tempat foto kopi ini memang ramai dikunjungi mahasiswa fakultas kami, namun hari ini tampak lengang. Mungkin karena hari sudah menjelang sore dan langit tampak gelap, sehingga banyak mahasiswa yang memilih untuk pulang.

"Hai, Sahid! Lg nunggu fotokopi yah?" gadis ini menyapaku dengan senyum manisnya. Gadis ini selalu tampak ceria. Entah terbuat dari apa hatinya, gadis ini selalu pandai menyenangkan orang lain. Senyuman tak pernah lepas dari wajahnya, dan bibirnya tak pernah berhenti meluncurkan celotehan jenaka seperti anak kecil, lucu sekali. Paling tidak ia bisa memaksaku tersenyum saat hatiku sedang gundah. Ya, akhir-akhir ini hidupku terasa susah. Anganku serasa terbang ke atas awan, namun hatiku seolah terpenjara di dasar lautan. Aku menjalani malam-malam penuh gelisah. Inilah tipikal lelaki muda yang sedang jatuh cinta.

Sudah satu bulan ini aku tak tahan untuk menumpahkan perasaanku, walaupun hanya kepada pena dan kertas. Melalui puisi-puisi kuungkapkan isi hati. Entah mengapa aku memilih puisi. Kata-kata itu meluncur begitu saja, seperti aku yang tiba-tiba jatuh cinta. Tapi seorang penyair pernah berkata, puisi bisa jadi adalah ungkapan hati yang tak ingin diketahui oleh orang lain. Dengan puisi yang sarat makna dan ambigu, orang lain tak akan tahu siapa gadis yang telah mencuri hatiku, hingga hari-hariku terasa penuh sekaligus hampa. Penuh karena setiap hari terbayang-bayang wajahnya, namun hampa karena jiwaku telah diambilnya.

Bidadari. Hanya itulah petunjuk yang secara eksplisit tertera dalam puisiku tentangnya. Teman-temanku penasaran dengan sosok bidadari yang muncul dalam setiap tulisanku. Dalam puisi, dalam coret-coretan di buku, bahkan dalam edaran kelas. Waktu itu aku membagikan sebuah edaran mengenai informasi sebuah mata kuliah. Aku senang sekali karena akhirnya tugasku sebagai ketua kelas mata kuliah itu telah kuselesaikan dengan baik, meskipun sungguh berat dan menyita waktu. Maka aku merasa perlu untuk menuliskan daftar orang-orang yang harus mendapatkan ucapan terimakasih dariku, mulai dari penjual lalapan ayam di dekat kosku, penjaga rental komputer, teman-teman yang menemaniku begadang, dan tentu saja bidadari. dalam edaran itu aku tuliskan: Bidadari, engkau adalah hal kedua setelah mata kuliah ini yang membuatku tak bisa tidur!

Ketika edaran itu sampai di tangannya, aku memperhatikannya dengan serius. Aku tak ingin kehilangan setiap detik, bahkan kedipan mataku sekalipun. Agak lama ia membaca edaran itu. Tampaknya ia membaca semua tulisanku. Tiba-tiba ia bereaksi. Aku tahu, ia menahan tawa. Namun ia tak bisa menyembunyikan senyumnya yang jenaka. manis sekali. Lalu ia menuliskan sesuatu di atas edaran itu. Dan ketika edaran itu kembali kepadaku, di atas kata "bidadari" ia menuliskan kata-kata ini: "Aku ya?". Membaca tulisan itu, aku kaget bukan main. Sejak saat itu, aku merasa rikuh jika berada dekat dengannya. Namun demikian, sikapnya terhadapku tak pernah berubah, bahkan belakangan ini perhatiannya padaku semakin bertambah.

*

Awan semakin gelap. Suasana semakin senyap. Kampus ini sudah sepi, namun gadis di sebelahku ini masih ramai sekali. Ia membicarakan semua yang ada di dalam benaknya. Aku mendengarkan dengan sungguh-sungguh sambil sesekali menjawab pertanyaannya. Apa lagi yang lebih menarik perhatian lelaki yang sedang jatuh cinta ini selain gadis yang sedang duduk di sebelahnya?

Tiba-tiba, ia menyinggung tentang bidadari. Ia menanyakan siapakah bidadari yang selama ini menghiasi setiap puisi. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, namun ia sungguh antusias ingin membuatku membongkar sebuah rahasia. Aku pun terdiam. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku hanya memandangnya, dan dia hanya memandangku. Waktu seolah berjalan lambat sekali, sementara aku tak bisa berpikir lagi. Aku tak bisa merasakan apa-apa selain suara jantungku yang berdetak kian kencang.

Saat itulah, tiba-tiba turun rintik hujan. Pandangan kami berdua beralih ke depan. Aku melihat butir-butir air membasahi rerumputan hijau, dan jatuh pula di atas bunga-bunga yang menghiasi taman di depanku. Pemandangan yang sangat indah. Aku bangkit berdiri dan melangkah perlahan ke depan, lalu duduk di teras. Dengan demikian aku bisa merasakan butir-butir air menerpa telapak tangan yang kujulurkan ke depan. Dia mengikutiku, duduk di sebelahku. Wajahnya sungguh menunjukkan rasa ingin tahu yang teramat sangat.

"Siapa..." dia bertanya sekali lagi, mengharapkan sebuah nama keluar dari bibirku. Ia sungguh penasaran, seolah tak yakin bahwa selama ini dialah bidadari itu.

Aku memang pernah jatuh cinta, tapi sebelumnya aku tak pernah mengungkapkan cinta pada seorang gadis. Tapi hari ini, di tengah rintik hujan yang baru saja turun dan perlahan membasahi taman bunga di depanku, gadis manis ini duduk di sebelahku. Gadis yang aku suka sejak lama. Aku merenung sejenak, berusaha menjawab sebuah pertanyaan: inikah waktunya?

Sunday, October 19, 2008

Trier Autra Spear Hyex!

"Ujian di ruang Lab 2!" begitulah isi sms dari Dafin, sang ketua kelas mata kuliah Metodologi Penelitian. Sms itu membuatku lari ke gedung Laboratorium komputer, tempat ujian berlangsung. Hampir tersandung aku gara-gara terburu-buru menaiki tangga. Tapi ternyata sesampainya di atas, teman-teman sekelasku malah asyik berleha-leha. Ah, dosenku belum datang rupanya...

Bagiku, mata kuliah ini sungguh menyebalkan. Beberapa semester lalu aku sudah menempuh mata kuliah ini, namun hasilnya kurang memuaskan. Akhirnya aku memutuskan untuk mengulang. Tapi entah mengapa, aku kurang begitu semangat mengikuti kelas ini. Bisa jadi karena aku kesepian. Tidak ada teman satu angkatan, karena peserta kelas ini dipenuhi oleh adik tingkatku. Atau mungkin juga karena aku sebal dengan dosenku. Meskipun sudah bergelar profesor, beliau suka sekali menggoda mahasiswanya. Pernah suatu kali seorang mahasiswi diminta untuk berdiri, dan aku ditunjuk untuk mendeskripsikan segala sesuatu tentangnya. Maka aku sebutkan saja pendapatku tentangnya, mulai dari bajunya, celananya, sepatunya, dan sebagainya. Mahasiswi itu begitu rikuh saat semua mata memandangnya, apalagi aku diminta untuk memberikan penjelasan detil, karena kami sedang membahas mengenai observasi. Sungguh kasihan sekali. Apalagi ketika aku berkomentar tentang muka jawanya, meledaklah tawa di ruangan itu, tak terkecuali sang profesor. Aku sungguh tak enak hati.

Mengetahui bahwa dosenku belum datang tak lantas membuatku bersantai-santai. Aku belum belajar sama sekali! Katakan kawan, bagaimana aku bisa bermimpi mendapatkan nilai A jika kuliahku tak serius seperti ini. Lalu aku membaca modul-modul kuliah. Sebagian kuambil dari dalam tasku, sebagian lagi kupinjam dari adik tingkatku. Kemudian aku membaca modul-modul itu dengan sangat cepat. Bisa jadi tulisan-tulisan itu masuk mata kiri keluar mata kanan. Entahlah, waktu berjalan begitu cepat. Aku benar-benar pasrah. Tidak mungkin menghafalkan semua materi dalam modul-modul ini.

Di saat-saat genting itu, perutku tiba-tiba sakit. Ah, habis makan apa aku semalam?! Aku benar-benar pusing dibuatnya. Aku ingin ke belakang, tapi sebentar lagi dosenku pasti datang. Aku seperti berada di persimpangan jalan: mencari wc atau menghabiskan sisa waktu untuk belajar ujian. Percayalah kawan, perasaan ini jauh lebih dahsyat daripada bingung memilih memakai uang untuk makan atau beli pulsa. Terlintas di benakku untuk menggunakan teknik jembatan keladi. Pikiranku mungkin sedang konyol. Ini kan mainan anak SD? Tapi nampaknya aku tak punya pilihan lain. Maka, sambil membaca cepat, kuciptakanlah beberapa rangkaian jembatan keladi, demi membantuku menghafalkan materi-materi dalam modul itu. Ah, mimpi di siang bolong kalau jembatan keladi konyol ini berguna di ujian nanti!

Ujian pun dimulai. Aku sudah lemas ketika lembar soal dibagikan. Perutku sungguh melilit. Apalagi sang profesor berpesan, yang sudah selesai boleh langsung pulang. Aduh, pasti aku yang bakal keluar terakhir!

Tapi kawan, sulit dipercaya. Mataku berbinar-binar ketika membaca soal-soal itu. Secara spontan, terlintas jawaban-jawaban di pikiranku. Seperti berjingkrak-jingkrak dalam otakku, antri berdesak-desakan menunggu giliran untuk dituliskan dalam lembar jawaban. Maka dalam waktu singkat, aku sudah menjawab hampir seluruh soal. Tapi rupanya ada satu soal yang tak dapat kutemukan jawabannya. Sudah kutugaskan mesin pencari dalam otakku untuk mencari jawaban itu, namun tak kunjung ketemu.

Sambil menunggu ilham, aku memperhatikan sekelilingku. Karena aku duduk paling belakang, aku dapat dengan mudah mengamati mahasiswa-mahasiswa di depanku. Tampaknya sebagian dari mereka mulai frustasi, lalu mengerahkan ilmu yang sudah dilatihnya selama bertahun-tahun, sejak kelas satu SD. Ada yang menoleh ke kiri dan ke kanan, ada yang mencolek orang di depannya, dan... Ah, ada yang malu-malu membuka modul yang disembunyikannya di bawah kursi. Wah, sepertinya sang ketua kelas harus menyadarkan kelas ini agar segera tobat. Lalu aku memperhatikan dafin yang juga duduk di deretan paling belakang. Mataku terbelalak. Sang ketua kelas justru sedang asik menyalin modul kuliah ke lembar jawaban dengan santainya.

Mungkin karena kaget oleh pertunjukan sang ketua kelas, pikiranku seperti dicampur aduk. Memori di dalam otakku seperti dikocok-kocok, sehingga keluarlah memori-memori yang tersembunyi di sela-sela ingatanku. Tak disangka-sangka, kutemukan jawaban soal yang belum kujawab. Aku seperti archimedes yang berlari-lari sambil meneriakkan "eureka!". Aku kegirangan sambil menggumamkan rangkaian kata yang tak kalah legendaris, "trier autra spear hyex!"

Jangan bingung kawan, itu bukanlah bahasa yunani kuno ataupun bahasa dari planet lain. Itu adalah salah satu dari jembatan keladi konyol yang kuceritakan tadi. "Trier autra spear hyex" adalah singkatan dari trial-error, authority-tradition, speculation-argumentation, dan hypothesis-experimentation. Dan itu adalah sejarah perkembangan metodologi penelitian! Akhirnya, terjawab sudah semua soal ujian ini!

Karena aku sudah tidak tahan dengan keadaan perutku, aku langsung bangkit berdiri dengan gagahnya bak peragawan yang memamerkan wajahnya nan rupawan. Semua mata pun tertuju padaku. Percayalah kawan, sensasinya terasa menyenangkan. Jika tidak percaya, cobalah sekali-kali menjadi yang pertama menyelesaikan soal ujian. Tapi jangan coba-coba melakukannya jika lembar jawabanmu masih kosong, apalagi jika itu terjadi pada saat ujian akhir semester. Ketika melihat lembar jawabanmu, seorang profesor pun bisa mengumpat dalam hati, "orang ini pasti sudah gila!"

Aku berjalan menuju meja dosen dan menyerahkan lembar jawabanku. Bisa kudengar suara-suara mahasiswa yang spontan mengomentariku karena akulah yang pertama menyelesaikan ujian ini. Bisa jadi mereka kagum, atau mungkin sirik padaku? Ah, aku tak mau memikirkannya, apalagi berburuk sangka. Aku lebih peduli pada perutku yang makin melilit. Maka dengan gaya yang kuatur setenang mungkin, aku pamit pada sang profesor, berjalan menuju pintu dan menutupnya dengan perlahan. Padahal sejujurnya aku sudah tak tahan lagi.

selanjutnya bisa kau tebak kawan, aku lari tunggang langgang mencari wc.