Saturday, June 07, 2008

Kamarku Mati Lampu: Transaksi Cinta (Bagian 1)

Jilbab hitam berkibar-kibar membelah angin senja di atas roda dua, menghiasi seraut wajah yang indah. Melewati perkampungan, hiruk-pikuk pasar, dan jalan raya padat merayap, aku justru merasa bahwa kami sedang mengendarai Harley Davidson di atas jalanan sepi sambil menikmati sabana luas sejauh mata memandang. Pesona wanita ini cukup luar biasa, paling tidak ia bisa membuatku lupa bahwa kami sedang berada di atas motor Suzuki Smash 2004 yang jarang dicuci.

Seringkali aku berpikir bahwa wanita susah dimengerti. Meraba-raba apa yang ada di benaknya sama saja seperti seorang penderita rabun akut yang mencoba berjalan tanpa memakai kacamata. Berbulan-bulan lalu aku tak pernah berhasil mengajak ia pergi berdua denganku. Namun kali ini, hanya dengan iseng-iseng mengirimkan satu satu pesan singkat tanpa basa-basi, dia langsung menjawab, ”Mau dong ikut...”

Berhasil mengajaknya pergi, kebimbangan justru hinggap di pikiranku, sehingga menghasilkan wajah kaku pertanda ragu ketika berbincang dengannya. Aku tak mau ambil pusing dengan pendapatnya tentang mimik mukaku yang aneh, karena aku sibuk mengingatkan diriku sendiri agar berhati-hati. Jika lengah sedikit, salah-salah aku bisa jatuh cinta lagi padanya. Ya, aku sempat dibuat mabuk kepayang oleh wanita ini. Beragam rumus dan jurus cinta aku implementasikan agar mendapat acc untuk mencapai posisi strategis: menjadi pacarnya!

Pertama. Aku menyatakan cinta dalam bentuk puisi. Puisi itu kubuat semalam suntuk, khusus untuk menyatakan cintaku padanya. Namun semua kacau berantakan karena tubuhku gemetar melihat wajahnya yang manis tak terperi di bawah cahaya remang-remang. Jika Anda bosan dengan pacar Anda, cobalah mengajaknya makan malam romantis, dan biarkan sebatang lilin bekerja untuk Anda. Pendaran cahaya lilin akan membuat pacar Anda lebih cantik dari biasanya. Jika Anda sudah memakai lilin dan pacar Anda tetap saja jelek, cobalah pinjam kacamata minus milik teman Anda, sambil berharap bahwa efek blur dapat sedikit mengurangi kejelekannya.

Kedua. Belajar dari pengalaman sebelumnya, sebuah puisi tak sanggup menyentuh hati seorang wanita. Maka aku memberinya tidak hanya satu atau dua puisi, namun sekaligus sebuah buku kumpulan puisi tentangnya. Waktu itu aku berpikir bahwa wanita manapun pasti akan luluh jika mendapatkan penghargaan paling tinggi yang sanggup diberikan oleh seorang lelaki romantis: sebuah antologi puisi! Tapi dasar pikun, setelah ngobrol banyak, memberikan buku puisi dahsyat itu, dan mengantarnya pulang, aku justru lupa menembaknya! Padahal, presentasi cinta yang dilakukan tanpa tembakan follow up, takkan menghasilkan transaksi cinta!

Ketiga. Karena frustasi, aku mulai serius dan bersikap profesional seperti banyak sarjana nganggur di Indonesia, membuat surat lamaran dengan lampiran lengkap. Beginilah isi surat lamaran itu:

----------
Dengan hormat,
Berdasarkan informasi pesan singkat (sms) dari nomor ponsel Anda tanggal 7 Oktober 2007, bahwa Anda membuka lowongan, maka dengan ini saya menyatakan ketertarikan dan keinginan saya untuk bergabung menjadi seorang Pacar. Saya berkeyakinan pengetahuan dan kemampuan yang saya miliki sesuai dengan kriteria yang Anda butuhkan.

Nama saya Sahid Kusuma Wijaya (22 Th), jomblo, belum menikah, Mahasiswa Ekonomi Manajemen Universitas Brawijaya dengan konsentrasi Pemasaran. Saya mampu mengoperasikan sepeda motor, berbahasa Jawa, Indonesia dan Inggris baik lisan maupun tulisan, dan memiliki pengetahuan yang luas. Saya juga mampu bekerja keras, sabar, penyayang, pengertian, dan memiliki motivasi serta kemauan untuk belajar menjadi pacar yang baik.

Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya lampirkan: Daftar riwayat hidup, ijasah terakhir, transkrip nilai terakhir, dan pas foto terbaru serta sertifikat-sertifikat.

Besar harapan saya untuk diberi kesempatan mengikuti tes atau wawancara yang akan dilakukan oleh Anda. Saya akan memberikan kemampuan terbaik yang saya miliki. Atas perhatiannya, saya ucapkan banyak terima kasih.

Hormat saya,
Sahid Kusuma Wijaya
----------

Wanita, oh wanita... Membaca surat lamaran itu ia malah tertawa. Sungguh tidak menghargai keseriusan seorang lelaki sama sekali!

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 6)

Aku sedang asik terbengong-bengong mengingat mimpi indahku semalam, ketika ponselku berbunyi.

”Selamat pagi, dengan Pak Sahid? Saya Reza dari Pola Cup, Pak,” suara ini sudah tidak asing lagi di telingaku. Beberapa waktu lalu aku menghubungi Pola Cup, sebuah packaging company terkemuka di Jakarta yang telah memasok kebutuhan pengemasan makanan dan minuman bagi banyak perusahaan waralaba dan maskapai penerbangan regional. Namun karena pulsa anak kos sangat terbatas, pembicaraan waktu itu tiba-tiba terputus. Bikin malu saja.

”Iya benar Pak Reza, ini Sahid,” aku sedikit nervous berbicara dengan orang Jakarta. Aku membayangkan bahwa orang Jakarta pasti mengalami kehidupan dan persaingan keras yang memaksa mereka untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai tipikal orang-orang yang menghargai waktu dan memiliki produktivitas tinggi. Kontras sekali denganku. Waktuku banyak kuhabiskan di atas kasur dan produktivitasku untuk bermimpi!

”Tempo hari Bapak menanyakan harga cup, bisa saya bantu, Bapak membutuhkan cup dengan ukuran berapa?” Ternyata orang Jakarta itu hebat. Bicaranya to the point, lugas dan jelas. Kota sekali!

”Betul Pak Reza, saya sedang mencari informasi tentang harga cup dan lids yang diproduksi oleh perusahaan Anda. Saya mempertimbangkan untuk menggunakan cold cup ukuran 12 oz dan 16 oz beserta lids, dan hot cup single wall ukuran 9 oz beserta lids,” jawabku dengan tak kalah kotanya. Namun karena dibuat-buat, nada bicaraku jadi terdengar sedikit aneh.

”Oh, kalau begitu saya kirim lewat fax saja ya Pak? Nomer fax Pak Sahid berapa?”

”Wah, tidak pu... nya...,” ujarku memelas. Sudah lama aku tidak berhubungan dengan mesin faksimili. Terakhir kali adalah bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih aktif di sebuah perusahaan Networking dari Bali. Aku menggunakannya setiap hari untuk mengirimkan data distributor baru di bawah jaringanku.

Alhasil, pak Reza harus membacakan daftar harga, dan aku menuliskannya kembali di atas selembar kertas. Tidak apa, yang ini juga tidak kalah dengan mesin faksimili.

Pembicaraan sudah berakhir dari tadi, namun aku masih terpaku pada daftar harga yang diberikan pak Reza. Aku pusing dibuatnya. Karena menulis dengan tergesa-gesa, tulisanku jadi tidak terbaca...