Tuesday, August 26, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 7)

Benda itu berbentuk kerucut. Ujungnya tumpul setengah lingkaran, sementara sisanya berupa bulu-bulu berwarna putih yang ditancapkan pada benda tumpul setengah lingkaran tadi. Benda itu bisa melayang dan melesat dengan ringan. Kita tidak akan terluka jika dilempari benda itu. Tapi lain cerita jika kita terkena dengan kecepatan 200 km/jam, maka mau tidak mau kita akan meringis kesakitan. Itulah shuttlecock. Orang Indonesia biasa menyebutnya dengan kock saja. Benda itulah yang digunakan dalam permainan bulutangkis, seperti yang biasa kami lakukan setiap hari selasa.

Kami memiliki sebuah klub bulutangkis. Namanya adalah PB MALING. Kami menamainya demikian karena kami jarang ataupun sering telat membayar sewa gedung bulutangkis. Sebisa mungkin kami akan menghindari bapak penjaga gedung yang tinggal tidak jauh dari gedung bulutangkis itu. Karena gedung itu tidak pernah dikunci, maka kami bebas keluar masuk untuk bermain bulutangkis di dalamnya. Nah, jika tiba waktunya kami membayar, maka seusai bermain bulutangkis kami akan buru-buru kabur seperti maling!

Gara-gara tingkah kurang ajar kami, gedung itu kemudian digembok setiap saat. Gembok hanya dibuka jika ada penyewa yang akan bermain, tentunya setelah bapak penjaga memastikan bahwa mereka telah membayar uang sewa. Sejak saat itulah kami insyaf, lalu membayar uang sewa secara teratur dan tepat waktu. Seiring dengan berubahnya sikap kami, mungkin ada baiknya kami juga mengubah nama klub kami. PB TOBAT kelihatannya nama yang cocok.

Sebagai tipikal orang yang bermulut besar dan semaunya sendiri, aku mengangkat diriku sendiri sebagai Sahidkage Malinggakure. Kira-kira artinya adalah ”pak Sahid sang ketua kampung maling.” Tugasku adalah mengajarkan teknik bermain bulutangkis tingkat tinggi kepada setiap anggota PB MALING. Beberapa jurus yang kuajarkan diantaranya backhand smash pake tangan kiri sambil salto. Jurus lainnya adalah Super crossing smash down to your own fild. Artinya kira-kira “smash menyilang yang amat dahsyat, tapi bukannya masuk ke daerah lawan namun justru jatuh ke daerahmu sendiri!”

Tentu saja semua itu hanya bualan. Namun yang pasti, setiap orang yang ingin bergabung dengan PB MALING harus berhadapan denganku. Jika berhasil mengalahkanku dalam permainan bulutangkis, barulah orang itu boleh bergabung. Mengapa demikian? Tentu saja karena aku adalah anggota yang kemampuan bermain bulutangkisnya paling rendah. Teman-teman akan muak jika di PB MALING ada satu lagi orang dengan kemampuan bermain bulutangkis seperti diriku. Itulah sebabnya mereka sangat concern terhadap perkembangan kemampuanku bermain bulutangkis. ”Orang ini menjelekkan nama baik PB MALING saja!” begitu barangkali pemikiran mereka. Tapi kurasa tanpa keberadaanku pun, PB MALING tetap nama yang jelek.

Bermain bulutangkis sangat menguras tenaga. Tidak jarang badan kami jadi meriang dan pegal-pegal setelah seharian bermain. Jika itu yang terjadi, teman-teman biasanya akan istirahat dan bolos kuliah. Tapi tidak denganku, karena aku sangat peduli dengan pendidikan. Aku titip absen...

Friday, August 15, 2008

Aku suntuk

aku suntuk
pena enggan kupeluk
dan kertas gusar karna ternoda
"Tak sudi jadi alas puisi!"

tapi aku mau bikin puisi

peristiwa dan drama hanya singgah di pelupuk
tak beri arti, lebih lebih inspirasi

tapi aku mau inspirasi

Nanang Suryadi nyeletuk:
"Cari saja istri!"

Malang, 15 Agustus 2008

Wednesday, August 13, 2008

Puisi yang takkan pernah kau baca

 ...buat manis

siaran tv berguguran
menyisakan semut-semut berkejaran

bintang-bintang berlarian ke barat
membawa kabur segudang tanya

timbul tenggelam di pelupuk:
seraut wajah manis menggoda

cinta, tolong pejamkan mata

Malang, 13 Agustus 2008.

Saturday, August 02, 2008

Hari senin yang aneh!

Sungguh menyenangkan menghabiskan akhir pekan bersama teman-teman di puncak bukit Panderman, menghabiskan malam dengan memandang bintang-bintang di angkasa dan kelap-kelip lampu kota di bawahnya. Seperti melihat hamparan permukaan danau nan jernih dan luas yang memantulkan pemandangan alam di seberang sana. Dan keesokan harinya kami menikmati matahari terbit, yang sungguh elok jika dilihat dari bukit 2000 meter ini.

Menuruni bukit Panderman adalah kegiatan yang menyenangkan bagi kami. Berlari-lari menuruni bukit terjal penuh pasir, kami melompati bebatuan, menerjang semak belukar, dan meluncur di atas lautan pasir hingga kaki bukit. Maka sampailah aku di kos dengan baju belepotan dan celana penuh pasir. Dengan sedikit tenaga yang tersisa, aku mencuci pakaianku yang teramat sangat kotor. Mungkin tidak akan ada laundry yang mau menerima pakaianku.

Pukul empat sore, aku selesai mencuci, selesai mandi, dan fisikku benar-benar terkuras. Aku lelah sekali! Hari minggu yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Aku segera tidur setelah itu...

Tiba-tiba aku terbangun. Mataku berat, tenggorokanku kering dan tercekat, sementara seluruh tubuhku terasa pegal-pegal. Kesadaranku juga belum penuh. Namun ketika mataku tertuju pada jam dinding di kamarku, aku terkejut setengah mati. Sudah jam enam! Padahal pukul setengah tujuh pagi aku ada kuliah. Sementara aku adalah mahasiswa yang rajin. Waktu itu tidak ada pikiran untuk membolos apalagi titip absen. Akupun lari tunggang langgang menuju kamar mandi. Bukan untuk mandi, tapi sekedar cuci muka. Jika aku mandi, bisa-bisa aku terlambat dan tidak diijinkan masuk kelas. Jika aku sedang gelap mata, jangan ceramahi aku tentang teori mengenai kebersihan dan bau badan. Teman-teman kosku hanya bisa terbengong-bengong melihat aku yang panik dan terburu-buru.

Tapi di tengah kepanikanku, aku masih sempat memperhatikan keanehan hari ini. Aku mendapati bahwa semakin mendekati pukul setengah tujuh, bukannya semakin terang, hari justru semakin gelap. Aku ketakutan, ada apa dengan hari ini? Aku sibuk bertanya-tanya dalam hati. Namun di sekelilingku, teman-teman kosku malah asyik bercanda-tawa di depan televisi. Aku yakin mereka tahu bahwa ini adalah hari senin yang aneh. Aku yakin mereka sadar bahwa senin pagi ini hari bukannya semakin terang namun justru semakin gelap. Tapi mereka cuek sekali dengan keganjilan ini. Ada apa dengan hari ini? Ada apa dengan teman-temanku?!

Hid, rapi amat? Mau kemana malam-malam gini?” celetuk Rendy.

Lho, senin gini kamu gak kuliah pagi, Ren?!” Aku sungguh bingung, biasanya hari senin teman-temanku sibuk sekali.

Oi, bangun Hid! Bangun! Ini masih hari minggu, oi! Ini jam setengah tujuh malem, bukan jam setengah tujuh pagi!” Rendy cengar-cengir melihat ketololanku.