Friday, May 30, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 5)

Ruangan ini dipenuhi oleh mahasiswa Universitas Brawijaya. Mereka berkumpul di dalam sebuah hall untuk mengikuti seminar yang dibawakan oleh salah satu pengusaha sukses di kota Malang. Desas-desusnya, pengusaha itu masih muda, bahkan belum lulus dari studi S1-nya di jurusan Manajemen Brawijaya. Nampaknya orang itu demikian hebat, hingga begitu banyak mahasiswa yang rela berdesak-desakan demi mendapatkan ilmu tentang ”entrepreneurship” dan kiat-kiat sukses dari beliau.

”Hadirin sekalian,” tiba-tiba suara MC menarik perhatian seluruh peserta seminar yang tidak sabar untuk segera bertemu dengan pengusaha muda itu.

”Bagi yang masih ada di luar, mohon segera memasuki ruangan dan duduk di tempat yang sudah disediakan, karena acara akan segera dimulai.” MC itu pasti punya masalah dengan penglihatannya. Apa dia tidak melihat bahwa ruangan ini sudah penuh, demikian sesak oleh mahasiswa yang begitu penasaran dengan pembicara seminar ini.

MC itu semangat sekali, terlihat benar bahwa dia sendiri juga tidak sabar ingin segera memperkenalkan sosok pembicara seminar ini kepada para hadirin.

”Hadirin yang berbahagia, selamat datang di acara Seminar Sukses Pengusaha Muda Universitas Brawijaya 2008!” penyambutan MC itu membuat para peserta demikian antusias, bertepuk tangan begitu meriah.

Kemudian MC memberikan penjelasan singkat mengenai sejarah dan tujuan seminar ini. Seminar sukses ini diadakan setiap tahun untuk mengapresiasi para pengusaha muda yang telah berjuang merintis dan menjalankan bisnisnya hingga akhirnya mencapai kesuksesan. Diharapkan seminar ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi mahasiswa Universitas Brawijaya untuk menjadi pengusaha, menjadi entrepreneur!

Tiba-tiba lampu dimatikan, digantikan cahaya lampu sorot yang menari-nari kesana-kemari. Beberapa saat kemudian terdengarlah alunan musik kolosal Santorini yang megah, membangkitkan semangat setiap orang yang ada di rungan ini.

”Hadirin mohon berdiri, karena sesaat lagi pembicara akan memasuki ruangan...”
Peserta seminar pun berdiri, penuh semangat di tengah alunan Santorini yang semakin membahana. Mereka bertepuk tangan, terbawa aura positif yang memenuhi seluruh ruangan.

”Hadirin sekalian, mari kita sambut pembicara kita...”

Dari sisi kanan panggung, muncullah orang hebat itu, yang sedari tadi dinantikan kehadirannya oleh para peserta seminar ini. Sosoknya tidak terlihat dengan jelas karena terhalang oleh suasana remang-remang dan hanya sesekali dihampiri cahaya lampu sorot. Namun tetap saja, orang itu terlihat penuh semangat dan melambaikan tangannya kepada semua orang. Tepuk tangan semakin membahana, bahkan sebagian mahasiswi berteriak histeris.

”Sahid Kusuma Wijaya!” sambung MC menyebut nama pembicara itu dengan mantap.

Pembicara itu melangkah diiringi dentuman Santorini yang membangkitkan semangat, di bawah cahaya lampu sorot yang mengekspose wajahnya yang rupawan. Sungguh keren sekali! Seorang mahasiswi sampai pingsan dibuatnya.

Namun tiba-tiba pandanganku gelap. Suasana berubah senyap. Tidak ada lagi musik Santorini. Tidak ada lagi teriakan histeris mahasiswi. Aku sudah membuka mataku lebar-lebar, namun yang ada hanya gelap. Seperti terpojok di ruangan yang pengap. Ah, aku tahu... Ini kamarku yang mati lampu!

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 4)

Ketika aku masih duduk di bangku SMU, aku membayangkan bahwa menjadi mahasiswa pasti menyenangkan sekali. Wow, berangkat kuliah tidak memakai seragam! Sebuah pemikiran yang wajar bagi anak muda yang sudah dua belas tahun menjalani hari senin sampai sabtu dengan seragam melekat di badannya. Namun bukan itu saja, ternyata dunia kampus menawarkan sesuatu yang lebih menarik: kebebasan!

Ketika aku masih SMU, tidak masuk kelas adalah sebuah aib. Namun bagi sebagian mahasiswa, tidaklah afdhol jika seorang mahasiswa belum pernah bolos, titip absen ataupun membuat surat sakit. Kita bebas memakai pakaian apapun yang kita mau untuk mengekspresikan diri kita. Kita bebas menghabiskan waktu kita untuk kegiatan apapun. Apakah dosen peduli? Tidak! Tahu-tahu IP merosot tajam. Sebagai mahasiswa, kita sendirilah yang menentukan kegiatan kita, tanpa aturan yang kaku seperti di SMU. You chooses your own destiny! Termasuk dalam hal waktu. Dan beginilah cara kami orang-orang kampung menghabiskan waktu.

Sebenarnya aku malu menceritakan keadaan kami. Andi, entah setan apa yang merasuki otaknya. Setiap kali ada kaum hawa dengan penampilan di atas rata-rata, matanya seperti jarum kompas yang tak pernah lepas dari medan magnet. Segala jurus rayuan gombal kelas kampung dikerahkannya, tak peduli apa kata orang. Barangkali itu memang pembawaan sejak lahir.

Sementara Azhar, belakangan ini dia menggemari friendster. Aku jadi curiga, hoby barunya ini akibat gadis pujaannya aktif di situs jejaring sosial itu. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan hoby barunya ini, tapi yang membuatku jengkel adalah dia selalu menyebut FS (friendster) dengan VS! Mungkin dia tidak sadar jika ucapannya bisa membuat jatuh harga dirinya dan orang-orang yang duduk di sebelahnya.

Siang itu kami bertiga akan mengakses internet di gazebo fakultas kami. Entah mengapa semua orang menyebutnya gazebo, pemahamanku gazebo adalah sebuah dimensi ruang berupa shelter sederhana yang dilengkapi dengan konstruksi atap di atasnya. Mungkin tempat ini disebut gazebo karena teduh dan nyaman, sebab sinar matahari terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Maka tempat ini pun ramai dikunjungi mahasiswa fakultas kami, salah satu fakultas yang dipenuhi oleh muda-mudi keren, gaul dan modis. Dan di tempat inilah nantinya aku akan mengalami salah satu pengalaman paling memalukan sepanjang hidup.

Azhar sedang ada keperluan, nanti menyusul katanya. Maka aku dan Andy mencari tempat yang nyaman untuk menjalani ritual kami. Namun tiba-tiba Andy menyusul Azhar dan dia memintaku untuk menghidupkan laptop terlebih dahulu. Maka tinggallah aku sendiri, membuka tas laptop keramat milik azhar. Ketika tas itu terbuka, aku mendapati bahwa laptop itu terbungkus tas kresek merah. Aku bingung, untuk apa laptop itu dibungus tas kresek merah. Aku mencoba mengeluarkan laptop tanpa tas kreseknya, tapi susahnya bukan main. Tampaknya pengemasan laptop ini didesain sedemikian rupa oleh Azhar sehingga penggunanya diharuskan melalui dua tahap, yaitu mengeluarkan laptop yang dibungkus kresek dari dalam tas, kemudian barulah tas kresek itu bisa dibuka. Membuka barang keramat itu di tempat seperti ini sama saja cari mati. Aku hanya bisa mengumpat dalam hati.

Akupun mengeluarkan laptop itu dengan hati-hati dan berharap tidak ada yang memperhatikanku. Namun karena tergesa-gesa, timbullah bunyi berisik tas kresek itu. Dan hasilnya... Terdengarlah suara cekikikan gadis-gadis muda yang duduk tidak jauh dariku. Aah, aku malu setengah mati. Harga diriku... Pertahanan diri terakhirku sebagai laki-laki langsung runtuh seketika. Rasa-rasanya ingin melompat ke dalam selokan di belakangku dan baru keluar pada malam hari saat kampus sudah sepi. Sialan, rupanya Andy sudah mengetahui kebiasaan Azhar membungkus laptop dengan tas kresek, dan dia memilih untuk menyelamatkan muka.

Aku jadi membayangkan, semakin malulah kami jika Azhar yang memimpin ritual friendsteran ini. Mungkin akan begini kejadiannya. Di depan orang yang lalu-lalang, dengan penuh percaya diri dia membuka tas laptopnya, mengeluarkan laptop kesayangan yang dibungkus tas kresek merah, maka keluarlah bunyi khas yang menarik perhatian semua orang: ”krusek, krusek, krusek...”

Kemudian dengan gaya berapi-api seperti bung Tomo yang mengajak berjuang dan mengobarkan semangat para pemuda, dia pun berteriak lantang: ”Ve-es-an yoooh...!!!”

Friday, May 23, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 3)

Aku berbaring lesu di kamarku, di atas kasur busa yang kubeli beberapa tahun yang lalu. ”Garansi lima tahun mas, kasur busa ini tidak akan kempes!” ujar penjual kasur itu penuh percaya diri. Jika Anda ingin menambah rasa percaya diri Anda, bergurulah pada penjual kasur! Tampaknya omongan penjual kasur itu bukan bualan semata. Kasur busa ini masih utuh, akselerasi penurunan permukaannya masih lebih lambat ketimbang penurunan permukaan tanah di Jakarta. Tapi asal tahu saja, ketika pertama kali aku mencoba berbaring di atasnya, rasanya seperti tidur di atas marmer. Kerasnya bukan main! Badanku jadi pegal-pegal.

Tapi bukan kasur busa itu yang membuatku lesu malam ini, melainkan karena kamarku mati lampu. Bukan, lebih tepatnya tidak ada lampu di kamarku. Berbekal kemampuan elektronika sederhana hasil mengikuti ekstrakulikuler selama tiga tahun di SMP, aku memindahkan lampu beserta instalasi listrik dari kamarku ke pinggir jalan depan rumah. Jika bukan karena dompet sekarat, aku tidak akan mau repot-repot melakukannya, lebih baik membeli lampu baru. Semua ini gara-gara PLN yang mencabut lampu-lampu jalan di kampungku. Akibatnya hasil rapat RT mewajibkan setiap warga untuk memasang lampu di depan rumah. Huh, padahal setiap bulan kami membayar pajak penerangan jalan kepada PLN, yang bisanya hanya menyusahkan negara dan rakyat. Tidak heran jika perusahaan itu kini mendapat predikat sebagai BUMN yang menyumbang kerugian terbesar bagi negara!

Malam itu samar-samar kudengar para tetangga sedang membicarakanku. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, tapi kemudian aku yakin bahwa pembahasan mereka tidak jauh-jauh dari lampu, karena malam berikutnya jalan di sekitar kontrakanku menjadi terang benderang, setelah tetangga kiri kananku turut memasang lampu di depan rumah mereka. Ah, sejenak aku merasa seperti Gold Roger yang memicu era bajak laut One Piece. Aku seperti seorang jounin yang menggetarkan hati para murid akademi ninja dalam cerita Naruto. Aku mempopulerkan lampu penerangan jalan! Bukan main...

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 2)

Kampungku sejuk sekali pagi ini, bekas dihajar hawa dingin semalaman. Gadis-gadis muda nan cantik jelita beriringan menuju kampus. Membelah jalan-jalan kampung yang meriah karena dijejali pedagang sayur yang ramah melayani pembeli, keceriaan loper koran dan ibu-ibu yang menghantarkan buah hatinya ke Taman Kanak-kanak. Dan di cermin, aku terlihat lebih ganteng dari biasanya. Segalanya terlihat indah pagi ini, sampai aku keluar kontrakan dan melihat matahari. Pijaran bola matahari menghilangkan semangatku karena mengingatkanku pada sesuatu: lampu!

Sudah tiga hari sejak pemilik rumah kontrakanku memintaku membeli lampu untuk dipasang di depan rumah. Pak Samsul nama orang itu, dan ia mengontrakkan rumahnya agar anaknya dapat terus bersekolah, sementara ia tinggal di rumahnya yang satu lagi, tidak jauh dari rumah kontrakanku.

Aku tak segera membeli lampu. Toh, tetangga kiri kananku tidak ada yang memasang lampu sama sekali. Mungkin karena sekarang adalah akhir bulan, dimana masyarakat kampung sedang giat-giatnya menjalankan sebuah program yang belakangan menjadi poluler: mengencangkan ikat pinggang! Jika Anda adalah Ketua RT dan ingin jabatan Anda bertahan lama, janganlah membuat program yang aneh-aneh di akhir bulan! Tapi toh siapa yang ingin berlama-lama menjadi Ketua RT?

Tiga hari ini aku seperti kaum urban yang harus berangkat pagi-pagi dan baru pulang ketika orang-orang tertidur lelap karena rumahnya di luar kota sangat jauh dari tempatnya bekerja di pusat kota. Padahal kampusku berjarak hanya 500 meter dari kontrakanku, berjalan kaki pun hanya memerlukan waktu 15 menit saja! Semua ini bukan supaya terlihat keren dan berkesan serius berjuang meraih pendidikan, melainkan demi menghindar dari pak Samsul, karena bujuk rayunya pasti akan meluluhkan hatiku untuk menghabiskan sisa uang di dompetku guna membeli sebuah lampu. Ah, membayangkannya saja aku ngeri...

Tuhan memang mengabulkan doaku, aku tidak pernah bertemu sama sekali dengan pak Samsul. Namun dasar nasib: tak ada rotan, akar pun jadi.

”Mas Sahid kok nggak pernah kelihatan?” suara itu tiba-tiba mengagetkanku. Aduh, suara ini... Sepertinya aku akrab sekali dengan suara ini. Dan benar saja, ketika aku menoleh ke sumber suara itu, ada bu Samsul! Matanya bulat tanda senang bukan main, seperti burung hantu menemukan mangsanya. Pandangannya seolah berkata, ”Aha, mau lari kemana Kau anak muda?!”

”Ah... I.. Iya ya Bu, kok nggak pernah kelihatan ya?” jawabku ngawur. ”Saya terburu-buru Bu, ada kuliah pagi. Mari Bu,” sambungku cepat karena ingin segera kabur.

”Oh iya, jangan lupa beli lampu, ntar keburu ditegur pak RT lho...,” mimik muka bu Samsul serius. Kali ini mangsanya tak berkutik.

”He... Iya Bu. Kalau begitu, saya berangkat dulu ya Bu,” senyumku kecut. Tak perlu aku bercermin, aku tahu pasti senyumku kecut!

”Hati-hati di jalan ya Mas Sahid,” ujar istri pemilik kontrakanku dengan senyuman penuh kemenangan.

”Ah, Ibu tidak perlu mengkhawatirkan perjalananku. Jika aku jadi membeli lampu, maka yang perlu dikhawatirkan adalah isi dompetku, juga perutku!” Yang benar saja, tidak berani aku bicara terus terang seperti itu. Konsekuensinya akan sangat mengerikan: jika tidak diusir secara terang-terangan hari ini juga, bisa-bisa sewa rumah kontrakanku bakal dinaikkan dua kali lipat tahun depan!