Wednesday, December 24, 2008

Friday, November 28, 2008

Dimarahin sama Manajer CSR PT Semen Gresik tbk.

Tadi pagi ketika sedang belajar tentang CRM (customer relationship management), aku iseng-iseng mengirimkan sms kepada manajer CSR dari PT Semen Gresik tbk. Aku mendapatkan nomor ponselnya saat beliau menjadi pembicara seminar di kampusku beberapa hari yang lalu.

Kira-kira beginilah bunyi smsku: "Selamat pagi, Bapak Manajer. Saya Sahid, peserta seminar di Unibraw tempo hari dimana Bapak menjadi salah satu pembicara. Saya menyambut baik dan tertarik dengan program CRM perusahaan Bapak, bla bla bla..." Intinya aku ingin mengetahui prosedur pengajuan bantuan modal bagi pengusaha, yang menjadi salah satu kegiatan CSR PT Semen Gresik tbk.

Lama aku menunggu balasan dari beliau. Aku berpikir positif saja, mungkin beliau sibuk sekali dengan kegiatannya sebagai Manajer CSR perusahaan semen terbesar di Indonesia. Hingga kemudian ketika aku makan malam, datanglah balasan sms dari beliau. Dan apa isinya?

"Bukan CRM tapi CSR atau corporate social responsibility. Apa belum terima kuliah tentang CSR?! Bla bla bla..."

Ah, rupanya saat aku sedang belajar tentang CRM tadi pagi, aku sedikit ngelantur dan salah menuliskan CSR dengan CRM! Duh, memalukan nama Universitas Brawijaya saja, hehe...

Makan malam bareng cewek imut ternyata rasanya berbeda!

Apa bedanya makan bareng cewek imut dengan cewek biasa? Percayalah kawan, ternyata sungguh berbeda! Mungkin kamu sering pergi makan ramai-ramai atau berdua dengan temanmu, tapi coba perhatikan bedanya pergi makan bareng cewek imut. There is something special, bukan?

Beberapa malam yang lalu aku pergi makan malam dengan gadis seperti itu. Gadis yang manis, imut, lucu, dan modis. Jika kamu sedang jomblo, cobalah sekali-kali pergi berdua dengan gadis seperti itu, kawan. It's lift ur heart, dan bikin iri cowok-cowok yang melihat kalian berdua, seperti yang terjadi padaku tempo hari. Kami duduk di tengah-tengah, dan semua mata disana, paling tidak, melirik kami sesekali. Seperti halnya ketika kamu melihat cewek cantik jalan bareng cowok di suatu tempat, kadang sirik bukan? hehe..

Ok lanjut. Lalu saat kalian duduk berhadapan, kamu akan terpesona dengan cewek imut di depanmu itu, kawan. wajahnya yang manis, imut, serta tingkahnya yang lucu, dan senyumnya yang, jika kamu masih normal, akan terbawa sampai tidur! Jari lentik dan kuku indahnya menunjukkan bahwa cewek imut jauh dari urusan cuci mencuci, haha..

Dan ketika kamu mulai makan, semuanya terasa lezat. Tak peduli apapun yang kau makan, bahkan jika kau sedang maag sekalipun! Lalu perhatikan saat ia makan. Tonjolan di pipinya saat mengunyah bakso, terlihat seperti bola matahari pagi yang cahayanya lembut saat sunrise menjelang. Lalu bibirnya yang basah, akan tampak seperti gelas kristal mahal yang berkilauan, membuatmu harus memperlakukan ia dengan sangat lembut dan hati-hati. Aih...

Puasa yang nggak berkah!

Puasa, puasa..... Tapi kok banyak banget godaannya? Tadi pagi udah laper. Sampe siang sibuk kerja kelompok di kampus. Pusing... Kepala pening akibat tugas yang minta ampun susahnya! Mata ini dipaksa menikmati wajah-wajah cantik mahasiswi ekonomi. Aduh, Basement gedung E memang penuh godaan, huff.... Dan yang paling parah, dipampangin belahan dada dari jarak setengah meter! Astaghfirullah.. Aku langsung menutup mata memarahi temanku itu. Dan dia hanya tertawa cengengesan.

Aaaahhh, rusak, rusak.... Puasa hari ini rusak!

Cinta itu tak masuk akal!

Satu lagi bukti bahwa cinta itu tak masuk akal. Ada seorang kawan mahasiswa. Hobinya adalah bolos kuliah. Sering sekali dia bolos, entah itu titip absen, membuat surat, bahkan benar-benar bolos tanpa alasan yang jelas. Tapi lucunya, dia tak pernah absen mengantarkan pacarnya pergi kuliah. Bahkan menungguinya sampai kuliah selesai! Di kampus dan gedung yang sama pula! Aduh...

Tuesday, November 25, 2008

Terpesona

Seorang mahasiswa memasuki kelas. Sebagian pakaiannya basah akibat kehujanan. Di luar memang hujan deras, namun ia memaksakan diri menerobos hujan deras demi sampai di kampus. Meski sudah terlambat selama setengah jam, lelaki itu tetap saja memasuki kelas. Tak dipedulikannya dosen yang sedang sibuk memandu diskusi kelas. Ia langsung saja mencari kursi yang kosong dan duduk dengan santainya.

Lelaki itu tampak kuyu dan berantakan. Terlihat benar bahwa ia tidak bersemangat untuk pergi kuliah hari ini. Ia tidak membawa tas dan buku-buku. Kehadirannya hanya untuk mengangkat tangan saat kuliah ini berakhir nanti, agar lembar presensinya terisi. Sebuah lembar formalitas yang memaksa mahasiswa untuk hadir di kelas, agar kelak mereka berhasil mendapatkan satu lagi lembar formalitas yang bernama ijazah.

Diskusi berjalan dengan menarik di kelas itu. Penyaji dan peserta tampak bersemangat. Mereka kaum intelek yang sedang membicarakan retail distribution, service quality, store brand, dan sebagainya, yang akan membuat tukang becak dan penjual nasi goreng terbengong-bengong jika mendengarnya. Tapi diskusi itu tidak menarik perhatian lelaki yang terlambat tadi. Wajahnya muram, seperti cahaya lampu temaram di tengah hutan. Ia berada di dunianya sendiri, seolah ia adalah point of interest dalam slow motion, sementara dunia di sekelilingnya bergerak dengan cepat tanpa dihiraukannya. Pikirannya berlari keluar kelas lalu terbang menemui seorang gadis yang baru saja dikenalnya. Ya, ia sedang jatuh cinta. Perasaan itu baru saja didapatnya ketika ia mengajak makan malam seorang gadis dan menyadari bahwa gadis itu begitu istimewa.

Cinta memang tidak masuk akal. Lelaki yang sedang muram itu, malam-malamnya dipenuhi oleh kegelisahan tak berdasar. Matanya sulit terpejam saat ia hendak tidur. Ia akan tercenung memandangi ponselnya, berharap ada pesan yang masuk. Ketika pesan itu masuk, ia kegirangan dan tak sabar membukanya. Lalu ia menggerutu karena pesan itu bukan datang dari gadis yang diharapkannya. Sementara di malam yang lain, tangannya sibuk memainkan pena, menuliskan coretan kerinduan di atas sebidang kertas.

Diskusi di kelas itu masih berjalan dengan menarik. Akan tetapi lelaki itu masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri. Hanya saja, ia sesekali melirik pena dan kertas yang tergeletak diam di kursi sebelahnya. Nampaknya tangannya gatal ingin menuliskan sesuatu. Maka diambilnya pena dan kertas itu tanpa permisi. Tidak dipedulikannya sang pemilik yang kaget terbengong-bengong melihat barang-barangnya diambil. Lelaki itu hanya diam membisu, mengingat-ingat kembali sebuah puisi yang dibuatnya semalam tadi, saat kegelisahan menderanya tak henti-henti. Lalu dituliskannya kembali puisi itu…

Katakan, bagaimana aku tidak terpesona?
Waktu seolah berhenti saat senyummu mengembang
Jantungku berdegup kencang saat kita bertemu pandang
Dan sipit mata saat engkau tertawa, sungguh tak bisa kulupa

Katakan, bagaimana aku tidak terpesona?
Bayangan dirimu menggoda tidurku dan tak bisa hilang…

Tuesday, October 28, 2008

Rintik Hujan Sore Itu

Aku sedang duduk menunggu fotokopi ketika gadis itu datang kemari. Tempat foto kopi ini memang ramai dikunjungi mahasiswa fakultas kami, namun hari ini tampak lengang. Mungkin karena hari sudah menjelang sore dan langit tampak gelap, sehingga banyak mahasiswa yang memilih untuk pulang.

"Hai, Sahid! Lg nunggu fotokopi yah?" gadis ini menyapaku dengan senyum manisnya. Gadis ini selalu tampak ceria. Entah terbuat dari apa hatinya, gadis ini selalu pandai menyenangkan orang lain. Senyuman tak pernah lepas dari wajahnya, dan bibirnya tak pernah berhenti meluncurkan celotehan jenaka seperti anak kecil, lucu sekali. Paling tidak ia bisa memaksaku tersenyum saat hatiku sedang gundah. Ya, akhir-akhir ini hidupku terasa susah. Anganku serasa terbang ke atas awan, namun hatiku seolah terpenjara di dasar lautan. Aku menjalani malam-malam penuh gelisah. Inilah tipikal lelaki muda yang sedang jatuh cinta.

Sudah satu bulan ini aku tak tahan untuk menumpahkan perasaanku, walaupun hanya kepada pena dan kertas. Melalui puisi-puisi kuungkapkan isi hati. Entah mengapa aku memilih puisi. Kata-kata itu meluncur begitu saja, seperti aku yang tiba-tiba jatuh cinta. Tapi seorang penyair pernah berkata, puisi bisa jadi adalah ungkapan hati yang tak ingin diketahui oleh orang lain. Dengan puisi yang sarat makna dan ambigu, orang lain tak akan tahu siapa gadis yang telah mencuri hatiku, hingga hari-hariku terasa penuh sekaligus hampa. Penuh karena setiap hari terbayang-bayang wajahnya, namun hampa karena jiwaku telah diambilnya.

Bidadari. Hanya itulah petunjuk yang secara eksplisit tertera dalam puisiku tentangnya. Teman-temanku penasaran dengan sosok bidadari yang muncul dalam setiap tulisanku. Dalam puisi, dalam coret-coretan di buku, bahkan dalam edaran kelas. Waktu itu aku membagikan sebuah edaran mengenai informasi sebuah mata kuliah. Aku senang sekali karena akhirnya tugasku sebagai ketua kelas mata kuliah itu telah kuselesaikan dengan baik, meskipun sungguh berat dan menyita waktu. Maka aku merasa perlu untuk menuliskan daftar orang-orang yang harus mendapatkan ucapan terimakasih dariku, mulai dari penjual lalapan ayam di dekat kosku, penjaga rental komputer, teman-teman yang menemaniku begadang, dan tentu saja bidadari. dalam edaran itu aku tuliskan: Bidadari, engkau adalah hal kedua setelah mata kuliah ini yang membuatku tak bisa tidur!

Ketika edaran itu sampai di tangannya, aku memperhatikannya dengan serius. Aku tak ingin kehilangan setiap detik, bahkan kedipan mataku sekalipun. Agak lama ia membaca edaran itu. Tampaknya ia membaca semua tulisanku. Tiba-tiba ia bereaksi. Aku tahu, ia menahan tawa. Namun ia tak bisa menyembunyikan senyumnya yang jenaka. manis sekali. Lalu ia menuliskan sesuatu di atas edaran itu. Dan ketika edaran itu kembali kepadaku, di atas kata "bidadari" ia menuliskan kata-kata ini: "Aku ya?". Membaca tulisan itu, aku kaget bukan main. Sejak saat itu, aku merasa rikuh jika berada dekat dengannya. Namun demikian, sikapnya terhadapku tak pernah berubah, bahkan belakangan ini perhatiannya padaku semakin bertambah.

*

Awan semakin gelap. Suasana semakin senyap. Kampus ini sudah sepi, namun gadis di sebelahku ini masih ramai sekali. Ia membicarakan semua yang ada di dalam benaknya. Aku mendengarkan dengan sungguh-sungguh sambil sesekali menjawab pertanyaannya. Apa lagi yang lebih menarik perhatian lelaki yang sedang jatuh cinta ini selain gadis yang sedang duduk di sebelahnya?

Tiba-tiba, ia menyinggung tentang bidadari. Ia menanyakan siapakah bidadari yang selama ini menghiasi setiap puisi. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, namun ia sungguh antusias ingin membuatku membongkar sebuah rahasia. Aku pun terdiam. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku hanya memandangnya, dan dia hanya memandangku. Waktu seolah berjalan lambat sekali, sementara aku tak bisa berpikir lagi. Aku tak bisa merasakan apa-apa selain suara jantungku yang berdetak kian kencang.

Saat itulah, tiba-tiba turun rintik hujan. Pandangan kami berdua beralih ke depan. Aku melihat butir-butir air membasahi rerumputan hijau, dan jatuh pula di atas bunga-bunga yang menghiasi taman di depanku. Pemandangan yang sangat indah. Aku bangkit berdiri dan melangkah perlahan ke depan, lalu duduk di teras. Dengan demikian aku bisa merasakan butir-butir air menerpa telapak tangan yang kujulurkan ke depan. Dia mengikutiku, duduk di sebelahku. Wajahnya sungguh menunjukkan rasa ingin tahu yang teramat sangat.

"Siapa..." dia bertanya sekali lagi, mengharapkan sebuah nama keluar dari bibirku. Ia sungguh penasaran, seolah tak yakin bahwa selama ini dialah bidadari itu.

Aku memang pernah jatuh cinta, tapi sebelumnya aku tak pernah mengungkapkan cinta pada seorang gadis. Tapi hari ini, di tengah rintik hujan yang baru saja turun dan perlahan membasahi taman bunga di depanku, gadis manis ini duduk di sebelahku. Gadis yang aku suka sejak lama. Aku merenung sejenak, berusaha menjawab sebuah pertanyaan: inikah waktunya?

Sunday, October 19, 2008

Trier Autra Spear Hyex!

"Ujian di ruang Lab 2!" begitulah isi sms dari Dafin, sang ketua kelas mata kuliah Metodologi Penelitian. Sms itu membuatku lari ke gedung Laboratorium komputer, tempat ujian berlangsung. Hampir tersandung aku gara-gara terburu-buru menaiki tangga. Tapi ternyata sesampainya di atas, teman-teman sekelasku malah asyik berleha-leha. Ah, dosenku belum datang rupanya...

Bagiku, mata kuliah ini sungguh menyebalkan. Beberapa semester lalu aku sudah menempuh mata kuliah ini, namun hasilnya kurang memuaskan. Akhirnya aku memutuskan untuk mengulang. Tapi entah mengapa, aku kurang begitu semangat mengikuti kelas ini. Bisa jadi karena aku kesepian. Tidak ada teman satu angkatan, karena peserta kelas ini dipenuhi oleh adik tingkatku. Atau mungkin juga karena aku sebal dengan dosenku. Meskipun sudah bergelar profesor, beliau suka sekali menggoda mahasiswanya. Pernah suatu kali seorang mahasiswi diminta untuk berdiri, dan aku ditunjuk untuk mendeskripsikan segala sesuatu tentangnya. Maka aku sebutkan saja pendapatku tentangnya, mulai dari bajunya, celananya, sepatunya, dan sebagainya. Mahasiswi itu begitu rikuh saat semua mata memandangnya, apalagi aku diminta untuk memberikan penjelasan detil, karena kami sedang membahas mengenai observasi. Sungguh kasihan sekali. Apalagi ketika aku berkomentar tentang muka jawanya, meledaklah tawa di ruangan itu, tak terkecuali sang profesor. Aku sungguh tak enak hati.

Mengetahui bahwa dosenku belum datang tak lantas membuatku bersantai-santai. Aku belum belajar sama sekali! Katakan kawan, bagaimana aku bisa bermimpi mendapatkan nilai A jika kuliahku tak serius seperti ini. Lalu aku membaca modul-modul kuliah. Sebagian kuambil dari dalam tasku, sebagian lagi kupinjam dari adik tingkatku. Kemudian aku membaca modul-modul itu dengan sangat cepat. Bisa jadi tulisan-tulisan itu masuk mata kiri keluar mata kanan. Entahlah, waktu berjalan begitu cepat. Aku benar-benar pasrah. Tidak mungkin menghafalkan semua materi dalam modul-modul ini.

Di saat-saat genting itu, perutku tiba-tiba sakit. Ah, habis makan apa aku semalam?! Aku benar-benar pusing dibuatnya. Aku ingin ke belakang, tapi sebentar lagi dosenku pasti datang. Aku seperti berada di persimpangan jalan: mencari wc atau menghabiskan sisa waktu untuk belajar ujian. Percayalah kawan, perasaan ini jauh lebih dahsyat daripada bingung memilih memakai uang untuk makan atau beli pulsa. Terlintas di benakku untuk menggunakan teknik jembatan keladi. Pikiranku mungkin sedang konyol. Ini kan mainan anak SD? Tapi nampaknya aku tak punya pilihan lain. Maka, sambil membaca cepat, kuciptakanlah beberapa rangkaian jembatan keladi, demi membantuku menghafalkan materi-materi dalam modul itu. Ah, mimpi di siang bolong kalau jembatan keladi konyol ini berguna di ujian nanti!

Ujian pun dimulai. Aku sudah lemas ketika lembar soal dibagikan. Perutku sungguh melilit. Apalagi sang profesor berpesan, yang sudah selesai boleh langsung pulang. Aduh, pasti aku yang bakal keluar terakhir!

Tapi kawan, sulit dipercaya. Mataku berbinar-binar ketika membaca soal-soal itu. Secara spontan, terlintas jawaban-jawaban di pikiranku. Seperti berjingkrak-jingkrak dalam otakku, antri berdesak-desakan menunggu giliran untuk dituliskan dalam lembar jawaban. Maka dalam waktu singkat, aku sudah menjawab hampir seluruh soal. Tapi rupanya ada satu soal yang tak dapat kutemukan jawabannya. Sudah kutugaskan mesin pencari dalam otakku untuk mencari jawaban itu, namun tak kunjung ketemu.

Sambil menunggu ilham, aku memperhatikan sekelilingku. Karena aku duduk paling belakang, aku dapat dengan mudah mengamati mahasiswa-mahasiswa di depanku. Tampaknya sebagian dari mereka mulai frustasi, lalu mengerahkan ilmu yang sudah dilatihnya selama bertahun-tahun, sejak kelas satu SD. Ada yang menoleh ke kiri dan ke kanan, ada yang mencolek orang di depannya, dan... Ah, ada yang malu-malu membuka modul yang disembunyikannya di bawah kursi. Wah, sepertinya sang ketua kelas harus menyadarkan kelas ini agar segera tobat. Lalu aku memperhatikan dafin yang juga duduk di deretan paling belakang. Mataku terbelalak. Sang ketua kelas justru sedang asik menyalin modul kuliah ke lembar jawaban dengan santainya.

Mungkin karena kaget oleh pertunjukan sang ketua kelas, pikiranku seperti dicampur aduk. Memori di dalam otakku seperti dikocok-kocok, sehingga keluarlah memori-memori yang tersembunyi di sela-sela ingatanku. Tak disangka-sangka, kutemukan jawaban soal yang belum kujawab. Aku seperti archimedes yang berlari-lari sambil meneriakkan "eureka!". Aku kegirangan sambil menggumamkan rangkaian kata yang tak kalah legendaris, "trier autra spear hyex!"

Jangan bingung kawan, itu bukanlah bahasa yunani kuno ataupun bahasa dari planet lain. Itu adalah salah satu dari jembatan keladi konyol yang kuceritakan tadi. "Trier autra spear hyex" adalah singkatan dari trial-error, authority-tradition, speculation-argumentation, dan hypothesis-experimentation. Dan itu adalah sejarah perkembangan metodologi penelitian! Akhirnya, terjawab sudah semua soal ujian ini!

Karena aku sudah tidak tahan dengan keadaan perutku, aku langsung bangkit berdiri dengan gagahnya bak peragawan yang memamerkan wajahnya nan rupawan. Semua mata pun tertuju padaku. Percayalah kawan, sensasinya terasa menyenangkan. Jika tidak percaya, cobalah sekali-kali menjadi yang pertama menyelesaikan soal ujian. Tapi jangan coba-coba melakukannya jika lembar jawabanmu masih kosong, apalagi jika itu terjadi pada saat ujian akhir semester. Ketika melihat lembar jawabanmu, seorang profesor pun bisa mengumpat dalam hati, "orang ini pasti sudah gila!"

Aku berjalan menuju meja dosen dan menyerahkan lembar jawabanku. Bisa kudengar suara-suara mahasiswa yang spontan mengomentariku karena akulah yang pertama menyelesaikan ujian ini. Bisa jadi mereka kagum, atau mungkin sirik padaku? Ah, aku tak mau memikirkannya, apalagi berburuk sangka. Aku lebih peduli pada perutku yang makin melilit. Maka dengan gaya yang kuatur setenang mungkin, aku pamit pada sang profesor, berjalan menuju pintu dan menutupnya dengan perlahan. Padahal sejujurnya aku sudah tak tahan lagi.

selanjutnya bisa kau tebak kawan, aku lari tunggang langgang mencari wc.

Monday, September 15, 2008

Aku Suka Kamu!

Telah terbuka pelupuk mata
Lewati malam syahdu bertabur mimpi indah tentangmu

Telah terbuka pelupuk mata
Tak sabar menanti perjumpaan denganmu

Tidakkah kau sadari
Hatiku berbunga-bunga penuh malu saat pandangan bertemu
Timbul tenggelam dalam debur ombak lautan rindu
Bergeliat...
Lalu semburat dan pecah tak tentu arah
Laksana word of mouth menyebar berita:
Aku suka kamu!

Tidakkah kau mengerti
Jari-jari tanganku terikat erat pada pena
Setiap hari menuliskan namamu...
Xxxxx (censored).

Malang, 13 September 2008

Tuesday, August 26, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 7)

Benda itu berbentuk kerucut. Ujungnya tumpul setengah lingkaran, sementara sisanya berupa bulu-bulu berwarna putih yang ditancapkan pada benda tumpul setengah lingkaran tadi. Benda itu bisa melayang dan melesat dengan ringan. Kita tidak akan terluka jika dilempari benda itu. Tapi lain cerita jika kita terkena dengan kecepatan 200 km/jam, maka mau tidak mau kita akan meringis kesakitan. Itulah shuttlecock. Orang Indonesia biasa menyebutnya dengan kock saja. Benda itulah yang digunakan dalam permainan bulutangkis, seperti yang biasa kami lakukan setiap hari selasa.

Kami memiliki sebuah klub bulutangkis. Namanya adalah PB MALING. Kami menamainya demikian karena kami jarang ataupun sering telat membayar sewa gedung bulutangkis. Sebisa mungkin kami akan menghindari bapak penjaga gedung yang tinggal tidak jauh dari gedung bulutangkis itu. Karena gedung itu tidak pernah dikunci, maka kami bebas keluar masuk untuk bermain bulutangkis di dalamnya. Nah, jika tiba waktunya kami membayar, maka seusai bermain bulutangkis kami akan buru-buru kabur seperti maling!

Gara-gara tingkah kurang ajar kami, gedung itu kemudian digembok setiap saat. Gembok hanya dibuka jika ada penyewa yang akan bermain, tentunya setelah bapak penjaga memastikan bahwa mereka telah membayar uang sewa. Sejak saat itulah kami insyaf, lalu membayar uang sewa secara teratur dan tepat waktu. Seiring dengan berubahnya sikap kami, mungkin ada baiknya kami juga mengubah nama klub kami. PB TOBAT kelihatannya nama yang cocok.

Sebagai tipikal orang yang bermulut besar dan semaunya sendiri, aku mengangkat diriku sendiri sebagai Sahidkage Malinggakure. Kira-kira artinya adalah ”pak Sahid sang ketua kampung maling.” Tugasku adalah mengajarkan teknik bermain bulutangkis tingkat tinggi kepada setiap anggota PB MALING. Beberapa jurus yang kuajarkan diantaranya backhand smash pake tangan kiri sambil salto. Jurus lainnya adalah Super crossing smash down to your own fild. Artinya kira-kira “smash menyilang yang amat dahsyat, tapi bukannya masuk ke daerah lawan namun justru jatuh ke daerahmu sendiri!”

Tentu saja semua itu hanya bualan. Namun yang pasti, setiap orang yang ingin bergabung dengan PB MALING harus berhadapan denganku. Jika berhasil mengalahkanku dalam permainan bulutangkis, barulah orang itu boleh bergabung. Mengapa demikian? Tentu saja karena aku adalah anggota yang kemampuan bermain bulutangkisnya paling rendah. Teman-teman akan muak jika di PB MALING ada satu lagi orang dengan kemampuan bermain bulutangkis seperti diriku. Itulah sebabnya mereka sangat concern terhadap perkembangan kemampuanku bermain bulutangkis. ”Orang ini menjelekkan nama baik PB MALING saja!” begitu barangkali pemikiran mereka. Tapi kurasa tanpa keberadaanku pun, PB MALING tetap nama yang jelek.

Bermain bulutangkis sangat menguras tenaga. Tidak jarang badan kami jadi meriang dan pegal-pegal setelah seharian bermain. Jika itu yang terjadi, teman-teman biasanya akan istirahat dan bolos kuliah. Tapi tidak denganku, karena aku sangat peduli dengan pendidikan. Aku titip absen...

Friday, August 15, 2008

Aku suntuk

aku suntuk
pena enggan kupeluk
dan kertas gusar karna ternoda
"Tak sudi jadi alas puisi!"

tapi aku mau bikin puisi

peristiwa dan drama hanya singgah di pelupuk
tak beri arti, lebih lebih inspirasi

tapi aku mau inspirasi

Nanang Suryadi nyeletuk:
"Cari saja istri!"

Malang, 15 Agustus 2008

Wednesday, August 13, 2008

Puisi yang takkan pernah kau baca

 ...buat manis

siaran tv berguguran
menyisakan semut-semut berkejaran

bintang-bintang berlarian ke barat
membawa kabur segudang tanya

timbul tenggelam di pelupuk:
seraut wajah manis menggoda

cinta, tolong pejamkan mata

Malang, 13 Agustus 2008.

Saturday, August 02, 2008

Hari senin yang aneh!

Sungguh menyenangkan menghabiskan akhir pekan bersama teman-teman di puncak bukit Panderman, menghabiskan malam dengan memandang bintang-bintang di angkasa dan kelap-kelip lampu kota di bawahnya. Seperti melihat hamparan permukaan danau nan jernih dan luas yang memantulkan pemandangan alam di seberang sana. Dan keesokan harinya kami menikmati matahari terbit, yang sungguh elok jika dilihat dari bukit 2000 meter ini.

Menuruni bukit Panderman adalah kegiatan yang menyenangkan bagi kami. Berlari-lari menuruni bukit terjal penuh pasir, kami melompati bebatuan, menerjang semak belukar, dan meluncur di atas lautan pasir hingga kaki bukit. Maka sampailah aku di kos dengan baju belepotan dan celana penuh pasir. Dengan sedikit tenaga yang tersisa, aku mencuci pakaianku yang teramat sangat kotor. Mungkin tidak akan ada laundry yang mau menerima pakaianku.

Pukul empat sore, aku selesai mencuci, selesai mandi, dan fisikku benar-benar terkuras. Aku lelah sekali! Hari minggu yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Aku segera tidur setelah itu...

Tiba-tiba aku terbangun. Mataku berat, tenggorokanku kering dan tercekat, sementara seluruh tubuhku terasa pegal-pegal. Kesadaranku juga belum penuh. Namun ketika mataku tertuju pada jam dinding di kamarku, aku terkejut setengah mati. Sudah jam enam! Padahal pukul setengah tujuh pagi aku ada kuliah. Sementara aku adalah mahasiswa yang rajin. Waktu itu tidak ada pikiran untuk membolos apalagi titip absen. Akupun lari tunggang langgang menuju kamar mandi. Bukan untuk mandi, tapi sekedar cuci muka. Jika aku mandi, bisa-bisa aku terlambat dan tidak diijinkan masuk kelas. Jika aku sedang gelap mata, jangan ceramahi aku tentang teori mengenai kebersihan dan bau badan. Teman-teman kosku hanya bisa terbengong-bengong melihat aku yang panik dan terburu-buru.

Tapi di tengah kepanikanku, aku masih sempat memperhatikan keanehan hari ini. Aku mendapati bahwa semakin mendekati pukul setengah tujuh, bukannya semakin terang, hari justru semakin gelap. Aku ketakutan, ada apa dengan hari ini? Aku sibuk bertanya-tanya dalam hati. Namun di sekelilingku, teman-teman kosku malah asyik bercanda-tawa di depan televisi. Aku yakin mereka tahu bahwa ini adalah hari senin yang aneh. Aku yakin mereka sadar bahwa senin pagi ini hari bukannya semakin terang namun justru semakin gelap. Tapi mereka cuek sekali dengan keganjilan ini. Ada apa dengan hari ini? Ada apa dengan teman-temanku?!

Hid, rapi amat? Mau kemana malam-malam gini?” celetuk Rendy.

Lho, senin gini kamu gak kuliah pagi, Ren?!” Aku sungguh bingung, biasanya hari senin teman-temanku sibuk sekali.

Oi, bangun Hid! Bangun! Ini masih hari minggu, oi! Ini jam setengah tujuh malem, bukan jam setengah tujuh pagi!” Rendy cengar-cengir melihat ketololanku.

Saturday, June 07, 2008

Kamarku Mati Lampu: Transaksi Cinta (Bagian 1)

Jilbab hitam berkibar-kibar membelah angin senja di atas roda dua, menghiasi seraut wajah yang indah. Melewati perkampungan, hiruk-pikuk pasar, dan jalan raya padat merayap, aku justru merasa bahwa kami sedang mengendarai Harley Davidson di atas jalanan sepi sambil menikmati sabana luas sejauh mata memandang. Pesona wanita ini cukup luar biasa, paling tidak ia bisa membuatku lupa bahwa kami sedang berada di atas motor Suzuki Smash 2004 yang jarang dicuci.

Seringkali aku berpikir bahwa wanita susah dimengerti. Meraba-raba apa yang ada di benaknya sama saja seperti seorang penderita rabun akut yang mencoba berjalan tanpa memakai kacamata. Berbulan-bulan lalu aku tak pernah berhasil mengajak ia pergi berdua denganku. Namun kali ini, hanya dengan iseng-iseng mengirimkan satu satu pesan singkat tanpa basa-basi, dia langsung menjawab, ”Mau dong ikut...”

Berhasil mengajaknya pergi, kebimbangan justru hinggap di pikiranku, sehingga menghasilkan wajah kaku pertanda ragu ketika berbincang dengannya. Aku tak mau ambil pusing dengan pendapatnya tentang mimik mukaku yang aneh, karena aku sibuk mengingatkan diriku sendiri agar berhati-hati. Jika lengah sedikit, salah-salah aku bisa jatuh cinta lagi padanya. Ya, aku sempat dibuat mabuk kepayang oleh wanita ini. Beragam rumus dan jurus cinta aku implementasikan agar mendapat acc untuk mencapai posisi strategis: menjadi pacarnya!

Pertama. Aku menyatakan cinta dalam bentuk puisi. Puisi itu kubuat semalam suntuk, khusus untuk menyatakan cintaku padanya. Namun semua kacau berantakan karena tubuhku gemetar melihat wajahnya yang manis tak terperi di bawah cahaya remang-remang. Jika Anda bosan dengan pacar Anda, cobalah mengajaknya makan malam romantis, dan biarkan sebatang lilin bekerja untuk Anda. Pendaran cahaya lilin akan membuat pacar Anda lebih cantik dari biasanya. Jika Anda sudah memakai lilin dan pacar Anda tetap saja jelek, cobalah pinjam kacamata minus milik teman Anda, sambil berharap bahwa efek blur dapat sedikit mengurangi kejelekannya.

Kedua. Belajar dari pengalaman sebelumnya, sebuah puisi tak sanggup menyentuh hati seorang wanita. Maka aku memberinya tidak hanya satu atau dua puisi, namun sekaligus sebuah buku kumpulan puisi tentangnya. Waktu itu aku berpikir bahwa wanita manapun pasti akan luluh jika mendapatkan penghargaan paling tinggi yang sanggup diberikan oleh seorang lelaki romantis: sebuah antologi puisi! Tapi dasar pikun, setelah ngobrol banyak, memberikan buku puisi dahsyat itu, dan mengantarnya pulang, aku justru lupa menembaknya! Padahal, presentasi cinta yang dilakukan tanpa tembakan follow up, takkan menghasilkan transaksi cinta!

Ketiga. Karena frustasi, aku mulai serius dan bersikap profesional seperti banyak sarjana nganggur di Indonesia, membuat surat lamaran dengan lampiran lengkap. Beginilah isi surat lamaran itu:

----------
Dengan hormat,
Berdasarkan informasi pesan singkat (sms) dari nomor ponsel Anda tanggal 7 Oktober 2007, bahwa Anda membuka lowongan, maka dengan ini saya menyatakan ketertarikan dan keinginan saya untuk bergabung menjadi seorang Pacar. Saya berkeyakinan pengetahuan dan kemampuan yang saya miliki sesuai dengan kriteria yang Anda butuhkan.

Nama saya Sahid Kusuma Wijaya (22 Th), jomblo, belum menikah, Mahasiswa Ekonomi Manajemen Universitas Brawijaya dengan konsentrasi Pemasaran. Saya mampu mengoperasikan sepeda motor, berbahasa Jawa, Indonesia dan Inggris baik lisan maupun tulisan, dan memiliki pengetahuan yang luas. Saya juga mampu bekerja keras, sabar, penyayang, pengertian, dan memiliki motivasi serta kemauan untuk belajar menjadi pacar yang baik.

Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya lampirkan: Daftar riwayat hidup, ijasah terakhir, transkrip nilai terakhir, dan pas foto terbaru serta sertifikat-sertifikat.

Besar harapan saya untuk diberi kesempatan mengikuti tes atau wawancara yang akan dilakukan oleh Anda. Saya akan memberikan kemampuan terbaik yang saya miliki. Atas perhatiannya, saya ucapkan banyak terima kasih.

Hormat saya,
Sahid Kusuma Wijaya
----------

Wanita, oh wanita... Membaca surat lamaran itu ia malah tertawa. Sungguh tidak menghargai keseriusan seorang lelaki sama sekali!

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 6)

Aku sedang asik terbengong-bengong mengingat mimpi indahku semalam, ketika ponselku berbunyi.

”Selamat pagi, dengan Pak Sahid? Saya Reza dari Pola Cup, Pak,” suara ini sudah tidak asing lagi di telingaku. Beberapa waktu lalu aku menghubungi Pola Cup, sebuah packaging company terkemuka di Jakarta yang telah memasok kebutuhan pengemasan makanan dan minuman bagi banyak perusahaan waralaba dan maskapai penerbangan regional. Namun karena pulsa anak kos sangat terbatas, pembicaraan waktu itu tiba-tiba terputus. Bikin malu saja.

”Iya benar Pak Reza, ini Sahid,” aku sedikit nervous berbicara dengan orang Jakarta. Aku membayangkan bahwa orang Jakarta pasti mengalami kehidupan dan persaingan keras yang memaksa mereka untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai tipikal orang-orang yang menghargai waktu dan memiliki produktivitas tinggi. Kontras sekali denganku. Waktuku banyak kuhabiskan di atas kasur dan produktivitasku untuk bermimpi!

”Tempo hari Bapak menanyakan harga cup, bisa saya bantu, Bapak membutuhkan cup dengan ukuran berapa?” Ternyata orang Jakarta itu hebat. Bicaranya to the point, lugas dan jelas. Kota sekali!

”Betul Pak Reza, saya sedang mencari informasi tentang harga cup dan lids yang diproduksi oleh perusahaan Anda. Saya mempertimbangkan untuk menggunakan cold cup ukuran 12 oz dan 16 oz beserta lids, dan hot cup single wall ukuran 9 oz beserta lids,” jawabku dengan tak kalah kotanya. Namun karena dibuat-buat, nada bicaraku jadi terdengar sedikit aneh.

”Oh, kalau begitu saya kirim lewat fax saja ya Pak? Nomer fax Pak Sahid berapa?”

”Wah, tidak pu... nya...,” ujarku memelas. Sudah lama aku tidak berhubungan dengan mesin faksimili. Terakhir kali adalah bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih aktif di sebuah perusahaan Networking dari Bali. Aku menggunakannya setiap hari untuk mengirimkan data distributor baru di bawah jaringanku.

Alhasil, pak Reza harus membacakan daftar harga, dan aku menuliskannya kembali di atas selembar kertas. Tidak apa, yang ini juga tidak kalah dengan mesin faksimili.

Pembicaraan sudah berakhir dari tadi, namun aku masih terpaku pada daftar harga yang diberikan pak Reza. Aku pusing dibuatnya. Karena menulis dengan tergesa-gesa, tulisanku jadi tidak terbaca...

Friday, May 30, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 5)

Ruangan ini dipenuhi oleh mahasiswa Universitas Brawijaya. Mereka berkumpul di dalam sebuah hall untuk mengikuti seminar yang dibawakan oleh salah satu pengusaha sukses di kota Malang. Desas-desusnya, pengusaha itu masih muda, bahkan belum lulus dari studi S1-nya di jurusan Manajemen Brawijaya. Nampaknya orang itu demikian hebat, hingga begitu banyak mahasiswa yang rela berdesak-desakan demi mendapatkan ilmu tentang ”entrepreneurship” dan kiat-kiat sukses dari beliau.

”Hadirin sekalian,” tiba-tiba suara MC menarik perhatian seluruh peserta seminar yang tidak sabar untuk segera bertemu dengan pengusaha muda itu.

”Bagi yang masih ada di luar, mohon segera memasuki ruangan dan duduk di tempat yang sudah disediakan, karena acara akan segera dimulai.” MC itu pasti punya masalah dengan penglihatannya. Apa dia tidak melihat bahwa ruangan ini sudah penuh, demikian sesak oleh mahasiswa yang begitu penasaran dengan pembicara seminar ini.

MC itu semangat sekali, terlihat benar bahwa dia sendiri juga tidak sabar ingin segera memperkenalkan sosok pembicara seminar ini kepada para hadirin.

”Hadirin yang berbahagia, selamat datang di acara Seminar Sukses Pengusaha Muda Universitas Brawijaya 2008!” penyambutan MC itu membuat para peserta demikian antusias, bertepuk tangan begitu meriah.

Kemudian MC memberikan penjelasan singkat mengenai sejarah dan tujuan seminar ini. Seminar sukses ini diadakan setiap tahun untuk mengapresiasi para pengusaha muda yang telah berjuang merintis dan menjalankan bisnisnya hingga akhirnya mencapai kesuksesan. Diharapkan seminar ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi mahasiswa Universitas Brawijaya untuk menjadi pengusaha, menjadi entrepreneur!

Tiba-tiba lampu dimatikan, digantikan cahaya lampu sorot yang menari-nari kesana-kemari. Beberapa saat kemudian terdengarlah alunan musik kolosal Santorini yang megah, membangkitkan semangat setiap orang yang ada di rungan ini.

”Hadirin mohon berdiri, karena sesaat lagi pembicara akan memasuki ruangan...”
Peserta seminar pun berdiri, penuh semangat di tengah alunan Santorini yang semakin membahana. Mereka bertepuk tangan, terbawa aura positif yang memenuhi seluruh ruangan.

”Hadirin sekalian, mari kita sambut pembicara kita...”

Dari sisi kanan panggung, muncullah orang hebat itu, yang sedari tadi dinantikan kehadirannya oleh para peserta seminar ini. Sosoknya tidak terlihat dengan jelas karena terhalang oleh suasana remang-remang dan hanya sesekali dihampiri cahaya lampu sorot. Namun tetap saja, orang itu terlihat penuh semangat dan melambaikan tangannya kepada semua orang. Tepuk tangan semakin membahana, bahkan sebagian mahasiswi berteriak histeris.

”Sahid Kusuma Wijaya!” sambung MC menyebut nama pembicara itu dengan mantap.

Pembicara itu melangkah diiringi dentuman Santorini yang membangkitkan semangat, di bawah cahaya lampu sorot yang mengekspose wajahnya yang rupawan. Sungguh keren sekali! Seorang mahasiswi sampai pingsan dibuatnya.

Namun tiba-tiba pandanganku gelap. Suasana berubah senyap. Tidak ada lagi musik Santorini. Tidak ada lagi teriakan histeris mahasiswi. Aku sudah membuka mataku lebar-lebar, namun yang ada hanya gelap. Seperti terpojok di ruangan yang pengap. Ah, aku tahu... Ini kamarku yang mati lampu!

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 4)

Ketika aku masih duduk di bangku SMU, aku membayangkan bahwa menjadi mahasiswa pasti menyenangkan sekali. Wow, berangkat kuliah tidak memakai seragam! Sebuah pemikiran yang wajar bagi anak muda yang sudah dua belas tahun menjalani hari senin sampai sabtu dengan seragam melekat di badannya. Namun bukan itu saja, ternyata dunia kampus menawarkan sesuatu yang lebih menarik: kebebasan!

Ketika aku masih SMU, tidak masuk kelas adalah sebuah aib. Namun bagi sebagian mahasiswa, tidaklah afdhol jika seorang mahasiswa belum pernah bolos, titip absen ataupun membuat surat sakit. Kita bebas memakai pakaian apapun yang kita mau untuk mengekspresikan diri kita. Kita bebas menghabiskan waktu kita untuk kegiatan apapun. Apakah dosen peduli? Tidak! Tahu-tahu IP merosot tajam. Sebagai mahasiswa, kita sendirilah yang menentukan kegiatan kita, tanpa aturan yang kaku seperti di SMU. You chooses your own destiny! Termasuk dalam hal waktu. Dan beginilah cara kami orang-orang kampung menghabiskan waktu.

Sebenarnya aku malu menceritakan keadaan kami. Andi, entah setan apa yang merasuki otaknya. Setiap kali ada kaum hawa dengan penampilan di atas rata-rata, matanya seperti jarum kompas yang tak pernah lepas dari medan magnet. Segala jurus rayuan gombal kelas kampung dikerahkannya, tak peduli apa kata orang. Barangkali itu memang pembawaan sejak lahir.

Sementara Azhar, belakangan ini dia menggemari friendster. Aku jadi curiga, hoby barunya ini akibat gadis pujaannya aktif di situs jejaring sosial itu. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan hoby barunya ini, tapi yang membuatku jengkel adalah dia selalu menyebut FS (friendster) dengan VS! Mungkin dia tidak sadar jika ucapannya bisa membuat jatuh harga dirinya dan orang-orang yang duduk di sebelahnya.

Siang itu kami bertiga akan mengakses internet di gazebo fakultas kami. Entah mengapa semua orang menyebutnya gazebo, pemahamanku gazebo adalah sebuah dimensi ruang berupa shelter sederhana yang dilengkapi dengan konstruksi atap di atasnya. Mungkin tempat ini disebut gazebo karena teduh dan nyaman, sebab sinar matahari terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Maka tempat ini pun ramai dikunjungi mahasiswa fakultas kami, salah satu fakultas yang dipenuhi oleh muda-mudi keren, gaul dan modis. Dan di tempat inilah nantinya aku akan mengalami salah satu pengalaman paling memalukan sepanjang hidup.

Azhar sedang ada keperluan, nanti menyusul katanya. Maka aku dan Andy mencari tempat yang nyaman untuk menjalani ritual kami. Namun tiba-tiba Andy menyusul Azhar dan dia memintaku untuk menghidupkan laptop terlebih dahulu. Maka tinggallah aku sendiri, membuka tas laptop keramat milik azhar. Ketika tas itu terbuka, aku mendapati bahwa laptop itu terbungkus tas kresek merah. Aku bingung, untuk apa laptop itu dibungus tas kresek merah. Aku mencoba mengeluarkan laptop tanpa tas kreseknya, tapi susahnya bukan main. Tampaknya pengemasan laptop ini didesain sedemikian rupa oleh Azhar sehingga penggunanya diharuskan melalui dua tahap, yaitu mengeluarkan laptop yang dibungkus kresek dari dalam tas, kemudian barulah tas kresek itu bisa dibuka. Membuka barang keramat itu di tempat seperti ini sama saja cari mati. Aku hanya bisa mengumpat dalam hati.

Akupun mengeluarkan laptop itu dengan hati-hati dan berharap tidak ada yang memperhatikanku. Namun karena tergesa-gesa, timbullah bunyi berisik tas kresek itu. Dan hasilnya... Terdengarlah suara cekikikan gadis-gadis muda yang duduk tidak jauh dariku. Aah, aku malu setengah mati. Harga diriku... Pertahanan diri terakhirku sebagai laki-laki langsung runtuh seketika. Rasa-rasanya ingin melompat ke dalam selokan di belakangku dan baru keluar pada malam hari saat kampus sudah sepi. Sialan, rupanya Andy sudah mengetahui kebiasaan Azhar membungkus laptop dengan tas kresek, dan dia memilih untuk menyelamatkan muka.

Aku jadi membayangkan, semakin malulah kami jika Azhar yang memimpin ritual friendsteran ini. Mungkin akan begini kejadiannya. Di depan orang yang lalu-lalang, dengan penuh percaya diri dia membuka tas laptopnya, mengeluarkan laptop kesayangan yang dibungkus tas kresek merah, maka keluarlah bunyi khas yang menarik perhatian semua orang: ”krusek, krusek, krusek...”

Kemudian dengan gaya berapi-api seperti bung Tomo yang mengajak berjuang dan mengobarkan semangat para pemuda, dia pun berteriak lantang: ”Ve-es-an yoooh...!!!”

Friday, May 23, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 3)

Aku berbaring lesu di kamarku, di atas kasur busa yang kubeli beberapa tahun yang lalu. ”Garansi lima tahun mas, kasur busa ini tidak akan kempes!” ujar penjual kasur itu penuh percaya diri. Jika Anda ingin menambah rasa percaya diri Anda, bergurulah pada penjual kasur! Tampaknya omongan penjual kasur itu bukan bualan semata. Kasur busa ini masih utuh, akselerasi penurunan permukaannya masih lebih lambat ketimbang penurunan permukaan tanah di Jakarta. Tapi asal tahu saja, ketika pertama kali aku mencoba berbaring di atasnya, rasanya seperti tidur di atas marmer. Kerasnya bukan main! Badanku jadi pegal-pegal.

Tapi bukan kasur busa itu yang membuatku lesu malam ini, melainkan karena kamarku mati lampu. Bukan, lebih tepatnya tidak ada lampu di kamarku. Berbekal kemampuan elektronika sederhana hasil mengikuti ekstrakulikuler selama tiga tahun di SMP, aku memindahkan lampu beserta instalasi listrik dari kamarku ke pinggir jalan depan rumah. Jika bukan karena dompet sekarat, aku tidak akan mau repot-repot melakukannya, lebih baik membeli lampu baru. Semua ini gara-gara PLN yang mencabut lampu-lampu jalan di kampungku. Akibatnya hasil rapat RT mewajibkan setiap warga untuk memasang lampu di depan rumah. Huh, padahal setiap bulan kami membayar pajak penerangan jalan kepada PLN, yang bisanya hanya menyusahkan negara dan rakyat. Tidak heran jika perusahaan itu kini mendapat predikat sebagai BUMN yang menyumbang kerugian terbesar bagi negara!

Malam itu samar-samar kudengar para tetangga sedang membicarakanku. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, tapi kemudian aku yakin bahwa pembahasan mereka tidak jauh-jauh dari lampu, karena malam berikutnya jalan di sekitar kontrakanku menjadi terang benderang, setelah tetangga kiri kananku turut memasang lampu di depan rumah mereka. Ah, sejenak aku merasa seperti Gold Roger yang memicu era bajak laut One Piece. Aku seperti seorang jounin yang menggetarkan hati para murid akademi ninja dalam cerita Naruto. Aku mempopulerkan lampu penerangan jalan! Bukan main...

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 2)

Kampungku sejuk sekali pagi ini, bekas dihajar hawa dingin semalaman. Gadis-gadis muda nan cantik jelita beriringan menuju kampus. Membelah jalan-jalan kampung yang meriah karena dijejali pedagang sayur yang ramah melayani pembeli, keceriaan loper koran dan ibu-ibu yang menghantarkan buah hatinya ke Taman Kanak-kanak. Dan di cermin, aku terlihat lebih ganteng dari biasanya. Segalanya terlihat indah pagi ini, sampai aku keluar kontrakan dan melihat matahari. Pijaran bola matahari menghilangkan semangatku karena mengingatkanku pada sesuatu: lampu!

Sudah tiga hari sejak pemilik rumah kontrakanku memintaku membeli lampu untuk dipasang di depan rumah. Pak Samsul nama orang itu, dan ia mengontrakkan rumahnya agar anaknya dapat terus bersekolah, sementara ia tinggal di rumahnya yang satu lagi, tidak jauh dari rumah kontrakanku.

Aku tak segera membeli lampu. Toh, tetangga kiri kananku tidak ada yang memasang lampu sama sekali. Mungkin karena sekarang adalah akhir bulan, dimana masyarakat kampung sedang giat-giatnya menjalankan sebuah program yang belakangan menjadi poluler: mengencangkan ikat pinggang! Jika Anda adalah Ketua RT dan ingin jabatan Anda bertahan lama, janganlah membuat program yang aneh-aneh di akhir bulan! Tapi toh siapa yang ingin berlama-lama menjadi Ketua RT?

Tiga hari ini aku seperti kaum urban yang harus berangkat pagi-pagi dan baru pulang ketika orang-orang tertidur lelap karena rumahnya di luar kota sangat jauh dari tempatnya bekerja di pusat kota. Padahal kampusku berjarak hanya 500 meter dari kontrakanku, berjalan kaki pun hanya memerlukan waktu 15 menit saja! Semua ini bukan supaya terlihat keren dan berkesan serius berjuang meraih pendidikan, melainkan demi menghindar dari pak Samsul, karena bujuk rayunya pasti akan meluluhkan hatiku untuk menghabiskan sisa uang di dompetku guna membeli sebuah lampu. Ah, membayangkannya saja aku ngeri...

Tuhan memang mengabulkan doaku, aku tidak pernah bertemu sama sekali dengan pak Samsul. Namun dasar nasib: tak ada rotan, akar pun jadi.

”Mas Sahid kok nggak pernah kelihatan?” suara itu tiba-tiba mengagetkanku. Aduh, suara ini... Sepertinya aku akrab sekali dengan suara ini. Dan benar saja, ketika aku menoleh ke sumber suara itu, ada bu Samsul! Matanya bulat tanda senang bukan main, seperti burung hantu menemukan mangsanya. Pandangannya seolah berkata, ”Aha, mau lari kemana Kau anak muda?!”

”Ah... I.. Iya ya Bu, kok nggak pernah kelihatan ya?” jawabku ngawur. ”Saya terburu-buru Bu, ada kuliah pagi. Mari Bu,” sambungku cepat karena ingin segera kabur.

”Oh iya, jangan lupa beli lampu, ntar keburu ditegur pak RT lho...,” mimik muka bu Samsul serius. Kali ini mangsanya tak berkutik.

”He... Iya Bu. Kalau begitu, saya berangkat dulu ya Bu,” senyumku kecut. Tak perlu aku bercermin, aku tahu pasti senyumku kecut!

”Hati-hati di jalan ya Mas Sahid,” ujar istri pemilik kontrakanku dengan senyuman penuh kemenangan.

”Ah, Ibu tidak perlu mengkhawatirkan perjalananku. Jika aku jadi membeli lampu, maka yang perlu dikhawatirkan adalah isi dompetku, juga perutku!” Yang benar saja, tidak berani aku bicara terus terang seperti itu. Konsekuensinya akan sangat mengerikan: jika tidak diusir secara terang-terangan hari ini juga, bisa-bisa sewa rumah kontrakanku bakal dinaikkan dua kali lipat tahun depan!

Wednesday, April 16, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 1)

Hari beranjak gelap. Matahari sudah minggat sejak pukul setengah enam tadi. Mungkin merajuk karena banyak manusia, terutama gadis-gadis muda yang takut sinar matahari, mengeluh gerah dan kepanasan saat mereka beraktivitas, padahal matahari sudah capek-capek menyinari bumi seharian tadi. ”Bah! Masih untung aku mau lewat di atasmu, sehingga kamu bisa melihat dan beraktivitas dengan baik. Coba kalau aku tidak ada, jangankan mengoleskan pemutih di atas kulitmu, mengetahui warna kulitmu pun kau tak akan bisa!” begitu barangkali yang akan dikatakannya jika Matahari diberi kesempatan berbicara.

Aku tak peduli dengan apa yang dipikirkan gadis-gadis muda itu. Aku juga tak mau ambil pusing dengan celaan matahari. Pikiranku sibuk dengan lampu depan motorku yang mati sejak beberapa hari yang lalu. Menyusuri jalan-jalan kampung di malam hari tanpa lampu adalah perkara yang menyusahkan buatku. Bukan karena resiko menabrak orang atau takut dimarahi penduduk kampung, namun aku jadi tidak bisa melihat dengan jelas wajah gadis-gadis muda itu. Biasanya dengan cuci mata, pikiranku tak lagi buntu.

Walaupun aku cukup terganggu dengan matinya lampu motorku, aku tak segera membeli lampu baru. Dengan lampu motor yang mati, aku jadi punya alasan untuk nebeng atau diantar jemput teman-teman jika ada kegiatan bersama di malam hari. Melanggar peraturan lalu-lintas adalah pantangan buatku. Teman-temanku sampai bosan mendengar ocehanku: ”Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh seberapa banyak warga negaranya yang patuh terhadap hukum”. Maka mereka terpaksa menjadi tukang ojek kalau ingin mengajakku pergi di malam hari. Jika Anda ingin ada terobosan dalam hal penghematan anggaran BBM, ikutilah saran konyol saya: buanglah lampu depan motor Anda!

Perkara membeli lampu baru sebenarnya tidak jauh-jauh dari masalah duit. Bulan ini pengeluaranku banyak sekali, sehingga memaksaku menggenjot penjualan jasa penerjemahan. Jasa penerjemahan Sahid & Rekan memang sedang kebanjiran order, sampai-sampai aku perlu turun tangan mengerjakan penerjemahan karena tiga orang staf ternyata tidak sanggup menyelesaikan seluruh permintaan.

Tetap saja, penghasilan dari jasa penerjemahan itu tidak dapat menutupi pengeluaran bulan ini. Aku sempat berpikir untuk meminta kiriman uang dari orang tua, tapi aku segera membuang jauh-jauh pikiran itu. Bukan karena orang tuaku tak sayang padaku sampai-sampai meminta tambahan uang pun tak dikasih. Justru aku khawatir dengan rasa sayang orang tua kepada anak. Demi membahagiakan anaknya, banyak orang tua yang mengabulkan permintaan barang yang aneh-aneh dari anaknya. Jika duit sendiri tak cukup, tenang saja, masih ada uang perusahaan. Aku tak habis pikir dengan gaya hidup sebagian teman-temanku yang suka meminta-minta pada orang tua. Apakah mereka tidak takut jika nantinya orang tua mereka korupsi?

Aku masih sibuk memikirkan lampu motorku ketika aku sampai di depan kontrakanku. Aku begitu sentimen pada lampu, hingga aku sampai pada satu kesimpulan: karena tidak ada anggaran, bulan ini aku tak mau membeli lampu. Bukan hanya lampu motor, aku juga tak mau membeli lampu senter, lampu rumah atau lampu-lampu yang lain. Bahkan, malam ini aku berencana langsung tidur dan tak mau menyentuh saklar-saklar lampu di rumahku. Aku tak mau membeli lampu dan tak mau berurusan dengan lampu!

Ketika aku membuka pintu kontrakanku, tiba-tiba sang empunya rumah datang menghampiriku.

”Mas Sahid, kemarin ada rapat RT. Karena lampu-lampu jalan sudah diputus oleh PLN, maka setiap rumah harus memasang lampu di depan rumah. Mas Sahid jangan lupa besok beli lampu ya!” ujarnya dengan tersenyum manis tanpa perasaan bersalah. Dan kepalaku pun pening.


Bersambung...

Saturday, April 12, 2008

Panderman Hill (Bagian 2): Puncak

Akhirnya tibalah kita di puncak bukit Panderman, berupa tanah lapang yang cukup luas. Tanah lapang itu tidak seluruhnya rata, melainkan berkontur dan terdapat beberapa bagian yang lebih tinggi dan lebih rendah, seperti diatur sedemikian rupa oleh alam sehingga terbentuklah kapling-kapling tempat para pendaki mendirikan tenda. Seperti cluster permukiman mewah yang terdiri atas puluhan kapling tanah siap bangun, yang biasa kita jumpai di kawasan dataran tinggi elit.
Dari puncak, jika melihat ke atas kita akan disuguhi hamparan bintang di angkasa, dan jika melihat ke bawah maka kita akan menjumpai kelap-kelip lampu kota Batu dan sekitarnya. Seolah-olah kita melihat danau yang memantulkan penampakan benda-benda di atas dan seberang danau sana, maka lampu-lampu kota itu adalah pantulan dari cahaya-cahaya bintang di angkasa.

Pendakian Panderman hill hanya memerlukan waktu antara dua hingga lima jam saja, tergantung keahlian, kondisi fisik, serta barang dan siapa yang kita bawa serta. Mengajak pendaki profesional tentu jauh lebih cepat dibanding mengajak perokok berat yang baru pertama kali naik gunung! Bukannya berusaha mencapai puncak, mereka biasanya tergoda untuk bermalam di Watu Gede, tempat pemberhentian sementara berupa tanah lapang yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah batu besar. Namun jika tujuan kita adalah menikmati matahari terbit, kita harus mendaki hingga puncak, karena di Watu Gede kita baru bisa melihat matahari pada pukul 9 pagi! Semua ini gara-gara tebing yang menutupi pandangan kita ke sisi timur. Tentu saja kita tidak bisa memindahkan tebing itu seperti memindahkan telapak tangan dari muka saat melakukan cilukba.

Karena pendakian menuju puncak hanya memakan waktu sebentar, biasanya para pendaki memilih untuk berangkat dari kaki bukit selepas magrib atau isya. Bukannya tanpa alasan. Para pedaki tidak sabar melewatkan malam hari di puncak Panderman. Bukan karena ingin segera melihat matahari terbit, namun karena tidak tahan dengan suhu udara yang dingin! Untuk mengusir dingin, kita harus membuat api unggun. Bermain gitar juga boleh, asalkan ada teman yang cukup hebat bisa mendaki jalan terjal berpasir dengan satu tangan, karena tangan yang satunya untuk membawa gitar. Sedangkan di punggungnya tidak ada lagi tempat yang tersisa karena dibebani tas ransel yang berisi tenda, sleeping bag, beberapa bungkus roti dan mie instan, bahan bakar, serta tidak lupa dua botol air mineral 1500ml.

Jika kita tidak pernah naik gunung sebelumnya, jangan sekali-kali mendaki Panderman hill saat musim ajaran baru. Musim ajaran baru adalah sebutan bagi musim di kota Malang ketika tahun ajaran baru mahasiswa. Pada bulan-bulan tersebut, kota Malang terasa lebih dingin dari biasanya. Sebuah penyambutan, atau lebih tepatnya perpeloncoan, yang diselenggarakan oleh alam bagi mahasiswa baru di kota Malang, terutama bagi mereka yang berasal dari luar kota: air yang dingin memaksa mereka untuk tidak mandi selama beberapa hari, dan jika ingin tidur nyenyak ikuti saran saya: belilah selimut tebal!

Saya pernah mendaki Panderman hill saat musim ajaran baru. Ketika bermalam di puncak, saya tidak bisa tidur sama sekali, meski sudah memaksakan diri setengah mati. Tubuh rasanya kaku tak berdaya dibekap hawa dingin yang menusuk. Untuk berjalan sepuluh meter demi memenuhi panggilan alam saja, saya memerlukan waktu lebih dari dua menit! Dan keesokan paginya saya menemukan roti-roti saya dalam keadaan terbujur kaku kedinginan.

Perjuangan mendaki Panderman hill akan terbayar lunas beberapa saat lagi, saat matahari terbit di ufuk timur. Pertunjukan pun dimulai. Langit yang hitam pekat perlahan diusir oleh pendaran cahaya merah dari timur. Tidak lama kemudian muncul warna jingga dan kuning saat cahaya itu semakin merekah, begitu meriah. Seperti menyaksikan bunga matahari yang berkembang menyambut pagi. Dan ketika kilauan cahaya menyusup di sela-sela pepohonan di perbukitan nun jauh di sana, wajah kita diterpa hangatnya pancaran matahari pagi. Saat itu juga kita akan merasakan kelegaan dan sensasi kebahagiaan yang cukup luar biasa, seperti menemukan bahwa mangkuk terakhir es teler yang kita sembunyikan di dalam lemari – karena harus kita tinggalkan untuk mengikuti shalat tarawih – ternyata masih ada di tempatnya.

Thursday, April 10, 2008

Panderman Hill (Bagian 1): Pendakian

Panderman hill. Bukit dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut ini begitu menyenangkan untuk didaki. Di kaki bukit, kita akan disambut kemeriahan bermacam-macam tumbuhan dari berbagai jenis yang beranak-pinak menyebar menutupi bukit Panderman hingga bukit ini akan berwarna hijau jika dilihat dari kejauhan. Seperti jajan nogosari yang dibalut pelepah daun pisang. Setelah melewati kaki bukit, kita akan menyusuri jalan setapak yang diteduhi pohon dan semak-semak yang rimbun, bagai menyusuri labirin berdinding tanaman perdu tinggi yang berada di taman kerajaan-kerajaan Eropa.

Sebelum mencapai puncak, sesekali kita akan mendaki jalan terjal berpasir. Inilah yang menjadi tantangan pendakian bukit ini. Mendaki jalan terjal berpasir ini harus melewati serangkaian uji coba dan di bawah pengawasan ahli. Atau setidaknya kita harus mempunyai jam terbang tinggi. Jika tidak, kita akan terlihat konyol di mata pendaki lain yang hilir mudik melewati jalur ini, karena mereka akan melihat pemandangan paling memalukan sepanjang hidup: ketika kita mendaki jalan berpasir, kita terpeleset. Kita mencoba lagi dan kita terpeleset lagi. Bukannya mendekati puncak, kita malah semakin turun gara-gara pasir yang licin ini. Kita akan terlihat seperti anak ingusan yang mencoba menaiki telusuran di kolam renang, terpeleset dan akhirnya tercebur ke dalam air.

Jika kita berhasil melewati jalan berpasir itu dengan cepat dan tangkas, kita boleh mengagumi diri sendiri, atau setidaknya berbangga hati, terlebih jika ada gadis pendaki yang melihat kita dengan mata berbinar-binar penuh kekaguman. ”Wah, hebat sekali lelaki itu... Aku jadi ingin mengenalnya lebih dekat,” begitu barangkali yang akan di pikirkan si gadis.

Tuesday, February 05, 2008

IP hebat atau lulus cepat? Atau dua-duanya?

Motorku langsung melaju dengan kencang sesaat setelah lampu hijau itu menyala. Aku melihat kaca spion sebelah kanan, dan tak ada satupun kendaraan yang bisa mendekati aku. Aku jauh di depan mereka. Sesaat aku narsis mengagumi kehebatanku menggeber motor suzuki smash 2004 yang jarang kucuci ini. Ya, aku meliuk-liuk di sela kemacetan jalan raya porong bagai pencopet ulung yang berlari menerobos keramaian pasar. Aku melesat cepat di luar kota pasuruan yang sejuk, bagai bintang jatuh berkelebat di tengah malam yang dingin menusuk. Tapi kekaguman dan kesenanganku sirna begitu saja ketika aku teringat sebuah hal yang sangat menyita perhatianku belakangan ini: Indeks Prestasi!

Aku langsung bosan dengan liburan ketika aku mengetahui IPku semester ini. Seandainya aku masih kuliah di teknik arsitektur, mungkin aku akan mengadakan syukuran saat memperoleh kabar baik ini. Tapi ini Fakultas Ekonomi, saudara. Anda tidak harus begadang berhari-hari hanya demi menyelamatkan diri dari IP rapido (rapido adalah pena teknik presisi tinggi dengan ukuran mulai 0.1mm, 0.2mm, 0.3mm, hingga 0.9mm. Jarang sekali mahasiswa teknik menggunakan rapido ukuran lebih dari 1mm. Sedangkan IP rapido adalah IP dibawah 1.0). Jika anda mahasiswa teknik, jangan protes jika mendapatkan IP rapido padahal anda sering begadang demi menyelesaikan tugas.

Selama aku menjadi mahasiswa teknik arsitektur, tidak pernah aku mendapat IP lebih dari 3. Rekorku adalah 2,98. sebuah angka yang mengesalkan, tapi tetap harus disyukuri. Aku masih ingat ketika seorang dosen memberikan nilai A+ dengan embel-embel kata "excellent" atas karyaku. Sebuah bidang lengkung yang disusun dari garis-garis tipis, membentuk shape kokoh nan megah. Juga sebuah rancangan rumah vila tropis dengan konstruksi kayu, yang harus kukerjakan selama dua semester demi mempertahankan sebuah idealisme: inovasi. Bentuk konstruksi yang sama sekali baru, rumit, dan elegan. Aku tidak rela ketika mendengar kabar bahwa kedua karyaku itu hilang. Di teknik arsitektur, nilai bagus hanya dapat dicapai dengan kreativitas, kerja keras, dan jam kerja tinggi.

Dan ketika aku pindah ke fakultas ekonomi, jujur saja, aku amat sangat terkejut. Aku seperti rakyat jelata yang terbebas dari kerja rodi. Tidak banyak pekerjaan yang aku lakukan. Sedikit membaca, sedikit membuat makalah, dan beberapa jam per hari di kampus (tidak tiap hari), aku sudah mendapatkan IP 3. Tanpa begadang, tanpa ketiduran di kampus, dan tanpa teriakan-teriakan frustasi di tengah malam. Itulah sebabnya aku sangat heran, mengapa banyak mahasiswa ekonomi yang merasa keberatan dengan kesibukan kuliahnya.

Mengukur kemampuanku, melihat IP yang kudapatkan, dan menatap jalan yang membentang, aku memutuskan untuk berjuang meraih IPK 3,5. Aku sadar, aku orang yang lemah, pernah mendapatkan ranking 53 dari 53 siswa waktu kelas 6 SD, beberapa kali mendapat angka merah dalam rapor SMU, ranking paling bawah di kelas dalam Ujian Akhir Nasional, tidak bisa akuntansi, dan prestasi tertinggiku hanyalah juara 2 kompetisi sitol di sekolah, dengan hadiah bebas SPP selama 3bulan (sitol adalah singkatan dari silang pentol, dalam bahasa inggris permainan ini disebut link 5).

Namun jika mengingat harga yang harus kubayar atas keputusanku untuk pindah jurusan, jika mengingat semua konsekuensi yang harus kuambil, jika mengingat semua yang aku korbankan, jika mengingat impian yang memenuhi rongga dada, jika mengingat bahwa waktu tak bisa kembali sehingga waktu begitu berharga, jika mengingat bahwa keyakinan dapat mengubah segalanya, jika mengingat kebesaran Tuhan, jika mengingat bapak ibuku, aku... seperti mendapatkan dorongan semangat yang luar biasa untuk mengerahkan segala potensi diri, yang aku yakin belum sepenuhnya tergali.

Jalan Soekarno Hatta. Aku melirik kaca spion motorku. Motorku melaju kencang, kendaraan di belakang semakin tertinggal dan mengecil dalam kaca spionku yang juga kecil. Seperti inikah waktu? berjalan cepat dan jika tak sigap aku akan tertinggal dan menjadi orang kecil? Aku memperlambat laju kendaraanku ketika aku sampai di depan sebuah kontrakan sederhana. Ada sebuah pamflet di kontrakan itu, yang bunyinya "SAHID & REKAN, spesialis penerjemahan INGGRIS - INDONESIA. Jl. Kertorahayu 21 Malang." Akupun tertawa dalam hati. Aku turun dari motor, dan aku berdiri. Lama sekali aku memandang rumah sederhana ini. Dengan ukuran kecil dan cat yang mulai mengelupas, yang akan kutinggali sendiri - karena penghuni lain sudah menyelesaikan studinya tahun ini. Bagaimanapun rumah kontrakan sederhana ini adalah sebuah kemewahan bagiku. Di dalamnya banyak fasilitas yang kubutuhkan untuk kesuksesan studi.

Dan sekarang, apa lagi yang dapat kukatakan selain ucapan terimakasih? Terimakasih untuk semua dosen yang memberiku nilai A dan B+, aku sangat terhibur. Untuk dosen yang memberikan nilai B, aku bingung karena ini adalah nilai yang tanggung - menyusahkanku saja. Untuk dosen yang memberikan nilai C+, terimakasih, Anda membakar semangat saya.

Untuk halim, femi, firda, chandra, yanuar helmi, anang, fariz, farid, dan masih banyak lagi, terimakasih untuk tahun pertama yang hebat dan menyenangkan di fakultas ekonomi. Kalian membuatku yakin dan tidak menyesali pilihanku untuk masuk fakultas ekonomi.

Untuk aan, reza yanuar, reza ngos, addin, anis, azhar, andy medunten, dana, pak kaji, harun, okta, eduardo, rudek, irwan, mabon, jabon, dan semua teman-teman manajemen 2005 baik yang kenal maupun yang tidak, yang (mohon maaf) tidak dapat saya tuliskan semua disini, terimakasih atas persahabatan dan bantuan selama ini. Tanpa kalian, aku tidak akan dapat meraih impianku. Dan aku sangat membutuhkan dukungan moril dari teman-teman semuanya.

Ayo teman-teman, bersama-sama kita berjuang meraih IP hebat dan lulus cepat, demi masa depan yang lebih baik. Kalian sudah gede, apa harus ibu yang menyemangati dan menemani kalian belajar? hehe.. Semangat!

Tuesday, January 22, 2008

Saat-saat Aku Tenggelam dalam Lautan Asmara


     
     Entah sejak kapan aku mulai memperhatikanmu. Aku seperti terbangun dari mimpi, tiba-tiba saja menyadari. Tak ada puisi, tak ada ungkapan hati. Tiba-tiba saja bayangmu datang dan pergi silih berganti, seperti hujan meteor yang kusaksikan tempo hari. Menimbulkan sensasi penuh cita rasa saat bayangmu datang menyapa dengan senyum manismu.

     Sebelumnya aku memandangmu biasa - seperti yang lainnya. Tapi mengapa tiba-tiba aku menyimpan fotomu? Aku jadi malu... Mudah-mudahan ini bukan gejala jatuh cinta, karena aku tipe lelaki yang tak kuat menanggung rindu. Tapi jika nantinya hatiku tak bisa berkompromi, tidak apa. U're pretty enough. Dengan wajah manis dan keramahanmu, aku tak perlu sering-sering rekreasi untuk menenangkan hati - sudah ada kamu. Sebuah kompensasi yang menarik, bukan?

     Sejujurnya tak banyak informasi yang kupunya tentangmu. Hanya kata "mas," yang jelas teringat di kepalaku - saat kau menyapaku. Memangnya tidak ada kata lain ya non? Banyak yang bisa kita bicarakan. Kita bisa mulai dengan cerita tentang suka duka menjadi diri kita yang sama-sama anak kedua paling manis dari tiga bersaudara.

    Ternyata menghela nafas panjang tak bisa menyingkirkanmu dari pikiranku. Aku seperti di tengah lautan, di atas perahu yang bocor dimana-mana, telapak tanganku menyatu dan berusaha mengeluarkan air yang makin membanjiri perahu. Lelah aku mengusir luapan rindu yang datang bertubi-tubi. Lebih mudah membiarkan perahu penuh air dan menikmati saat-saat aku tenggelam dalam lautan asmara...

    Kesuksesan ujian akhir semester tak membuat aku girang. Datangnya liburan tak segera membuatku ingin pulang. Ingin melihatmu sekali lagi. Berat rasanya ingin pergi. Seperti waktu itu, saat aku meninggalkanmu sendiri di malam yang gelap dan sepi, di bawah pohon palem di tengah-tengah fakultas ekonomi.