Saturday, June 07, 2008

Kamarku Mati Lampu: Mahasiswa, Uang dan Politik Kampung (Bagian 6)

Aku sedang asik terbengong-bengong mengingat mimpi indahku semalam, ketika ponselku berbunyi.

”Selamat pagi, dengan Pak Sahid? Saya Reza dari Pola Cup, Pak,” suara ini sudah tidak asing lagi di telingaku. Beberapa waktu lalu aku menghubungi Pola Cup, sebuah packaging company terkemuka di Jakarta yang telah memasok kebutuhan pengemasan makanan dan minuman bagi banyak perusahaan waralaba dan maskapai penerbangan regional. Namun karena pulsa anak kos sangat terbatas, pembicaraan waktu itu tiba-tiba terputus. Bikin malu saja.

”Iya benar Pak Reza, ini Sahid,” aku sedikit nervous berbicara dengan orang Jakarta. Aku membayangkan bahwa orang Jakarta pasti mengalami kehidupan dan persaingan keras yang memaksa mereka untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai tipikal orang-orang yang menghargai waktu dan memiliki produktivitas tinggi. Kontras sekali denganku. Waktuku banyak kuhabiskan di atas kasur dan produktivitasku untuk bermimpi!

”Tempo hari Bapak menanyakan harga cup, bisa saya bantu, Bapak membutuhkan cup dengan ukuran berapa?” Ternyata orang Jakarta itu hebat. Bicaranya to the point, lugas dan jelas. Kota sekali!

”Betul Pak Reza, saya sedang mencari informasi tentang harga cup dan lids yang diproduksi oleh perusahaan Anda. Saya mempertimbangkan untuk menggunakan cold cup ukuran 12 oz dan 16 oz beserta lids, dan hot cup single wall ukuran 9 oz beserta lids,” jawabku dengan tak kalah kotanya. Namun karena dibuat-buat, nada bicaraku jadi terdengar sedikit aneh.

”Oh, kalau begitu saya kirim lewat fax saja ya Pak? Nomer fax Pak Sahid berapa?”

”Wah, tidak pu... nya...,” ujarku memelas. Sudah lama aku tidak berhubungan dengan mesin faksimili. Terakhir kali adalah bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih aktif di sebuah perusahaan Networking dari Bali. Aku menggunakannya setiap hari untuk mengirimkan data distributor baru di bawah jaringanku.

Alhasil, pak Reza harus membacakan daftar harga, dan aku menuliskannya kembali di atas selembar kertas. Tidak apa, yang ini juga tidak kalah dengan mesin faksimili.

Pembicaraan sudah berakhir dari tadi, namun aku masih terpaku pada daftar harga yang diberikan pak Reza. Aku pusing dibuatnya. Karena menulis dengan tergesa-gesa, tulisanku jadi tidak terbaca...

No comments: